Blog

Wijiyanto Membuat Sangkar Burung Demi Menyambung Hidup

Dua buah sangkar burung siap pakai berjajar di sebuah stand pameran. Di dalam stand terlihat tangan laki-laki paruh baya begitu lihai membuat ruji sangkar. Laki-laki itu duduk beralaskan lantai, di samping sebuah kursi roda. Berbagai pekakas dan bahan untuk membuat sangkar burung berserakan di sekelilingnya. Sudah setahun Wijiyanto membuat sangkar burung. Keterampilan ini diperolehnya melalui pelatihan oleh Dinas Sosial Kabupaten Sukoharjo. Selama ini dia belum bisa menitipkan sangkar burung buatannya ke pasar maupun toko. Belum memiliki motor roda tiga sendiri menjadi kendala. “Belum bisa terbeli, jadi belum bisa keliling-keliling pasar,” jelasnya. Pembeli yang datang ke rumahnya pun tidak begitu banyak. “Sehari laku satu, dua kadang tiga, kadang sampai seminggu nggak ada yang beli,” ungkap Wijiyanto. Wijiyanto menggeluti usaha ini karena merasa mampu. “Kalau kayak saya, mbak mau mencari kerja terbata,” tutur Wijiyanto. Dia percaya bahwa asal ada kemauan pasti bisa. Belakangan ini, dia mendapat pesanan sepuluh buah sangkar burung ke Cikarang. Keponakannya membantu dirinya menjual sangkar burung melalui internet. Keuntungan yang diperoleh dari hasil membuat sangkar burung digunakan Wijiyanto untuk keperluan sehari-hari. Dia mengaku tidak ingin merepotkan orang-orang di sekitarnya. “Untuk hari tua saya nanti, untuk sehari-hari jadi nggak tergantung sama orang tua dan sudara, kan mbak,”. Lelaki yang sudah memasuki usia kepala tiga ini ingin menunjukkan bahwa keterbatasan bukan suatu halangan untuk mengembangkan keterampilan yang dimiliki oleh seseorang. Sebelum membuat sangkar burung, Wijiyanto membuat anyaman nampan dari bambu. Sampelnya kemudian dibawa ke SEHATI, sebuah organisasi yang berkecimpung di ranah difabel. Namun, karena sulit dan mahalnya mencari bambu coklat , Wijiyanto memutuskan beralih pada usaha sangkar burung. “Untuk bahan, di lingkungan saya ada, masih enak dicari, enak dibeli. Kalau yang lain agak susah,”cerita Wijiyanto ketika ditanya mengenai alasan memilih usaha sangkar burung. Modal awal untuk memulai usahanya diperoleh Wijiyanto dari pinjaman. “Tapi nggak bisa seterusnya tergantung orang lain, harus pandai memutar uang.” jelasnya. Satu sangkar sanggup diselesaikannya selama 2 hari. Dia mulai bekerja pukul 8 pagi hingga malam, tergantung pada banyaknya pesanan. “Pernah belum selesai sudah ada yang nungguin,” kisah putra sulung di keluarganya ini. Berani Manfaatkan Kesempatan Wijiyanto mengaku sering mengikuti pelatihan yang diberikan kepada difabel. “Kalau ada kesempatan pelatihan, ikut,”. Berbagai pelatihan pernah diikuti laki-laki yang tinggal di Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo ini. Mulai dari membuat batako, handycraft juga anyaman nampan. Dan pilihannya kini jatuh pada usaha sangkar burung sebagai tumpuan dalam mengais rezeki. Ketika usia 2 tahun Wijiyanto jatuh dari tempat tidur dan sempat mengalami panas selama 40 hari. Selang beberapa tahun kemudian, kakinya tertimpa kayu saat usianya 10 tahun. Ketiadaan biaya membuat kakinya tidak tumbuh dengan semestinya dan membutuhkan kursi roda untuk mobilisasi. Wijiyanto kini tinggal bersama saudaranya yang juga seorang difabel. Anak pertama dari empat bersaudara ini mengaku belum berkeluarga. Orang tuanya merantau ke Lampung untuk berjualan jamu sedangkan ketiga adiknya tidak lagi tinggal satu atap dengannya. Menginjak remaja, Wijiyanto sempat merasa minder. “Kakinya buntung, nggak bisa jalan.” Kenangnya menirukan anak-anak yang pernah menghina dirinya saat itu. Walau demikian, dia berhasil bangkit. Acara televisi yang mengangkat kehidupan difabel menjadi motivasinya untuk terus semangat menjalani hidup. “Asal ada kemauan pasti berhasil,” ujar Wijiyanto. Kini, Wijiyanto tidak hanya berdiam di rumah. Selain sibuk memenuhi pesanan sangkar burung, dia juga berani berkecimpung dalam Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Kecamatan Tawangsari, Kabupaten Sukoharjo. Kemudian, sudah semenjak satu tahun yang lalu dia bergabung dengan SEHATI yang senantiasa menggugah dirinya untuk menjadi difabel yang mandiri dan berorganisasi. (Amalina Niara)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *