Blog

Perbatasan Wilayah Menurut Hukum International

Oleh John Bernando SeranUNTUK mempertahankan kedaulatan (souvereignity) dan hak-hak berdaulat (souvereign Rights) antar negara serta menyelesaikan semua persoalan yang berkaitan dengan hubungan international, negara perlu menetapkan perbatasan wilayah baik dimensi perbatasan darat maupun perbatasan laut dan udara. Penetapan perbatasan wilayah (Border Zone) tersebut dapat dilakukan sesuai ketentuan hukum international agar dapat memberikan kepastian hukum, kemanfaatan hukum dan keadilan bagi masyarakat yang mendiami wilayah perbatasan dimaksud.

Menurut para ahli hukum international seperti Green NA Maryan, Shaw Malcolm, JG Starke dan Burhan Tsani, perbatasan wilayah adalah batas terluar wilayah suatu negara berupa suatu garis imajiner yang memisahkan wilayah suatu negara dengan wilayah negara lain di darat, laut maupun udara yang dapat dikualifikasi dalam terminologi “Border Zone” (zona perbatasan) maupun Customs Free Zone (zona bebas kepabeanan). Kawasan perbatasan dalam dua terminologi di atas dapat diatur secara limitatif dalam berbagai perjanjian international yang bersifat “Treaty Contract” untuk menyelesaikan permasalahan di perbatasan secara insidentil maupun yang bersifat “law making treaty” untuk pengaturan masalah perbatasan secara permanen berkelanjutan.

Perbatasan wilayah harus dikelola secara baik dan berkelanjutan karena selain berkaitan dengan penyelesaian berbagai sengketa international (international disputes) juga karena daerah perbatasan memiliki fungsi yang sangat strategis seperti fungsi militer, ekonomi perdagangan, kedaulatan negara dan fungsi-fungsi identitas nasional menuju kepentingan domestik di bidang ipoleksosbudhankam. Oleh karena itu menurut para ahli hukum international dan pengamat perbatasan (Ganewati Wuryandari) “Keamanan di Perbatasan RI – RDTL” dalam melaksanakan fungsi-fungsi perbatasan perlu diperhatikan aspek-aspek kultur masyarakat, pengaruh politik masyarakat dua negara, kebijakan pemerintah negara dan kekuatan pasar dalam perdagangan.

Pengelolaan perbatasan wilayah oleh badan-badan khusus yang ditentukan negara secara internal dimaksudkan agar administrasi pemerintahan dapat dilakukan dengan baik dan penerapan hukum nasional secara berkeadilan. Secara eksternal penetapan dan pengelolaan perbatasan antar negara dimaksudkan agar dapat menjamin penerapan hukum international secara holistik untuk mewujudkan keseimbangan hak dan kewajiban suatu negara dalam konteks hubungan international yang harmonis, damai dan seimbang.

Untuk mengelola keamanan perbatasan secara baik perlu dibedakan regim pengelola perbatasan sehingga pola pendekatan dan langkah-langkah yang dilakukan masing-masing negara dapat menjamin kedaulatan dan hak berdaulat masing-masing. Ada dua konsep regim pengelolaan perbatasan antar negara yang sedang dikembangkan negara-negara yang berdampingan yaitu “Hard Border Regim” (regim perbatasan keras) sebagaimana diterapkan AS terhadap Mexico dan Cuba, yang mengutamakan pendekatan militer di perbatasan dan “Soft Border Regim” (regim perbatasan lunak) sebagaimana diterapkan AS terhadap Canada, yang merupakan pola pendekatan yang manusiawi dan “social approuch”. Pilihan untuk menggunakan salah satu regim atau mengembangkan dua-duanya dalam pengelolaan keamanan perbatasan antar negara sangat ditentukan oleh filosofi yang dianut masing-masing negara dalam mengelola kedaulatan negaranya.

Kendati demikian dalam prakteknya sebagaimana diharapkan telah diterapkan Pemerintah RI dengan 10 negara tetangga adalah hubungan-hubungan “voisinage” (Burhan Tsani, Hukum dan Hubungan International) yang memiliki konteks aturan dan praktek yang khusus mengatur tingkah laku negara yang saling berbatasan. Dalam konteks pengelolaan pebatasan wilayah antar negara dapat diuraikan beberapa perspektif yang berimplikasi pada penerapan hukum international secara holistik dan konstruktif.

Pertama, kehadiran badan pengelola perbatasan di tingkat pusat dan daerah di Indonesia diharapkan dapat memfokuskan pada aktifitas pemetaan dan identifikasi titik-titik perbatasan negara (darat, laut dan udara). Terobosan ini dapat mewujudkan penetapan batas-batas antar negara secara limitatif dan holistik agar dapat diterapkan ketentuan hukum international secara baik di wilayah perbatasan. Tidak sempurnanya pelaksanaan kegiatan di atas dapat menghalangi penerapan hukum international kendati dapat ditegakkan hukum-hukum transisi (Transitional Justice) berupa “ius constituendum” yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan international yang disepakati dan dijalankan dua negara.

Kedua, badan pengelola perbatasan di Indonesia dan daerah dapat berperan dalam membantu menyelesaikan berbagai sengketa international (International Disputes) demi terciptanya kondisi keamanan perbatasan yang harmonis dan terkendali. Kendati hukum international memberi ruang untuk penyelesaian sengketa international melalui jalur kekerasan (use of force) seperti perang dan blokade damai, diharapkan tetap diupayakan jalan penyelesaian sengketa melalui perdamaian yang memfokuskan pada pilihan-pilihan seperti arbitrase, judicial, negosiasi- mediasi dan rekonsiliasi.

Ketiga, kehadiran Badan Pengelola Perbatasan juga dapat mensinergikan kegiatan-kegiatan produktif seperti merintis kearah pembentukan perjanjian-perjanjian international (treaty) untuk membina hubungan international yang harmonis, berdaulat dan “mutual benefit” dalam berbagai aspek. Dalam tataran ini, Badan Pengelola Perbatasan dapat melakukan diplomasi untuk melahirkan kesepakatan-kesepakatan international berdasarkan asas-asas hukum internasional seperti “pacta sunt servanda”. Pelaksanaan dimensi ini alangkah baiknya didukung oleh pengetahuan dan pengalaman yang memadai dalam hal meneruskan dan menganalisis berbagai dasar hukum. Pengaturan dan penegakan hukum di zona perbatasan baik untuk kepentingan perbatasan international berdasarkan hukum positif negara masing-masing maupun untuk kepentingan perbatasan ksternal berdasarkan ketentuan hukum international berupa “ius constitutum” maupun penemuan atau pembentukan hukum international dari kebiasaan international dua negara (konvensi).

Keempat, badan perbatasan juga dapat menjadi “Leading Institution” dalam pelaksanaan fungsi-fungsi pembangunan bagi masyarakat baik untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan pokok masyarakat maupun untuk pembentukan karakter kehidupan di perbatasan yang tidak saling mencurigai dan lebih kearah terbentuknya kondisi “mutual understanding” di bidang sosial budaya maupun pertahanan keamanan wilayah. Para ahli hukum international seperti “Green NA Maryan” menyatakan di daerah perbatasan, sebaiknya tidak ada kewajiban menghormati batas-batas suatu negara dan tidak ada ancaman antar negara. Untuk mengatur semua itu dapatlah dibentuk Komisi Bipatie antara dua negara yang berbatasan.

Jika keempat perspektif di atas dapat dijadikan”term of reference” para pengelola perbatasan antar negara di Indonesia maka fungsi dan peran institusi dapat diaplikasi secara maksimal untuk mengeliminir pemikiran bahwa terbentuknya badan atau institusi baru hanya untuk kepentingan elit semata dan atau untuk kepentingan pelaksanaan kegiatan yang “project oriented.”