Blog

Memahami Perbedaan Hadis Dan Sunnah Jangan Sampai Salah

Beda sunnah rasul berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum (syara’) yang termuat dalam al-Qur’an. Sedangkan hadis mencakup prilaku nabi Muhammad, baik yang berkaitan dengan hukum syara’ maupun tidak.

Belakangan ini kita sering mendengar ungkapan “mengikuti sunnah rasul,” yang dilontarkan oleh seseorang saat ia akan atau sedang melakukan suatu perbuatan.

Bagi sebagian orang, sunnah rasul dipahami sebagai “seluruh prilaku dan sikap nabi Muhammad” yang hukumnya sunnah (berpahala) bila diikuti. Sunnah rasul yang mereka maksud didapatkan dari teks hadis nabi yang banyak beredar di berbagai kalangan.

>

Baca juga:Adab-adab Periwayatan Hadits

Berpedoman pada firman Allah: “Laqad kana lakum fi rasulillahi uswatun hasanah” artinya “sesungguhnya telah ada pada diri rasulullah suri teladan yang baik bagimu.” (QS. Al-Ahzab ayat 21), maka mereka berkeyakinan bahwa ‘seluruh’ prilaku rasul adalah tauladan yang paling baik.

Meyakini sebagai tauladan dan sunnah yang berpahala, bahkan ada sebagian kalangan masyarakat muslim yang berusaha untuk meniru berbagai prilaku nabi Muhammad secara ‘apa adanya’ seperti yang tertera pada teks hadis, termasuk penampilan serta cara berpakaian, berikut model, jenis dan warna baju.

Hukum Mengikuti Prilaku Rasul

Sesungguhnya pemahaman terhadap istilah sunah rasul sebagai “seluruh prilaku dan sikap nabi Muhammad” adalah tidak tepat. Dengan begitu maka pemahaman bahwa meniru prilaku nabi (seperti pada teks hadis) hukumnya sunnah, juga tidak tepat.

Poligami misalnya, bahwa poligami merupakan sunnah rasul adalah benar, karena memang dilakukan oleh nabi Muhammad. Namun tidak serta merta praktik poligami hukumnya sunnah. Bilamana poligami menimbulkan mudharat bagi seseorang maka hukumnya ‘makruh.’ Bahkan bila poligami berpotensi menimbulkan bencana justru ‘haram’ hukumnya.

Praktik poligami yang dilakukan Rasulullah sejatinya mempunyai landasan motivasi niat dan tujuan yang luhur. Namun tidak semua orang mempraktikkan poligami dengan niat dan tujuan luhur seperti nabi Muhammad.

Poligami yang dilakukan oleh Rasulullah tidak bisa hanya dipandang dari aspek jumlah an sich, tetapi juga harus dipandang dari aspek niat dan tujuan. Jadi kalau hendak berpoligami sesuai sunnah rasul maka harusnya juga mempunyai niat dan tujuan luhur seperti nabi, bukan karena syahwat semata.

Demikian pula dalam perkara penampilan. Sesuai hadis, nabi Muhammad berpenampilan dengan pakaian model gamis, berjubah, bersorban dan berjenggot. Apakah itu sunnah rasul? Tentu tidak. Ternyata hampir semua masyarakat Arab berpenampilan seperti itu, termasuk Abu Jahal dan Abu Lahab, sosok pembenci ajaran Islam.

Sejatinya model pakaian yang sesuai sunnah rasul adalah menutup aurat, bersih, rapih dan sopan. Lalu kenapa Nabi Muhammad mengenakan jubah dan sorban? Karena Rasulullah menghormati tradisi masyarakat Arab dan menghindari kesan eksklusif.

Dengan begitu maka berpakaian model gamis dan bersorban tidak bisa dihukumi dengan ‘sunnah’. Bila kita hendak mengikuti sunnah rasul, dalam hal penampilan maka kita juga harus menghormati tradisi setempat dan tidak eksklusif.

Begitu pula dengan jenggot. Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa Rasulullah memelihara jenggot, sebagaimana tradisi umum masyarakat Arab. Namun apabila dengan jenggot panjang justru membuat penampilan seseorang terkesan lucu dan tidak rapih maka hukum berjenggot baginya bukannya sunnah tetapi makruh.

Ibnu ‘Umar dan Abu Hurairah adalah sahabat nabi yang selalu memangkas jenggotnya bila terlalu panjang, agar nampak rapih dan indah. Beliau berdua mengikuti ajaran nabi Muhammad untuk selalu hidup bersih, rapih dan indah. Bila seseorang berjenggot panjang yang tidak rapih berarti mengingkari ajaran nabi Muhammad.

Sunnah Rasul, Sumber Hukum Islam Kedua

Term “sunnah rasul” yang dipakai oleh para ulama fiqih sesungguhnya merujuk pada sabda nabi Muhammad yang disampaikan di padang Arafah, saat beliau melaksanakan ibadah haji terakhir (hijjatul wada’).

Beliau bersabda, “Taraktu fiikum amraini; Maa in tamassaktum bihimaa, lan tadzilluu ‘abadan; Kitaaballaah wa sunnata rasuulih,” artinya: Aku tinggalkan kepada kamu sekalian dua hal (pegangan); Jika kalian berpegang kepada keduanya, maka kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, yaitu ‘kitabullah’ dan ‘sunnah rasul’.”

Berlandaskan sabda nabi tersebut maka seluruh ulama sependapat bahwa ‘kitabullah’ dan ‘sunnah rasul’ merupakan dua dasar hukum dalam ajaran Islam.

>

Baca juga:Sunnah atau Hadits dan Perannya dalam Islam

Kemudian para ulama fiqih juga sependapat bahwa al-Qur’an, yang berisi petunjuk-petunjuk hidup bagi manusia merupakan sumber hukum utama. Sedangkan as-Sunnah (sunnah rasul) merupakan sumber hukum kedua, yang berfungsi menjelaskan, menegaskan dan menguatkan hukum-hukum yang ada di Al-Quran.

Aturan hukum yang ada dalam al-Qur’an sesungguhnya tertulis hanya secara garis besar dan bersifat pokok-pokok saja, sedangkan teknis pelaksanaannya dicontohkan oleh nabi Muhammad, yang kemudian disebut sebagai sunnah rasul.

Misal tentang kewajiban shalat. Dalam al-Qur’an hanya disampaikan “… dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat…” (QS. Al-Baqarah ayat 110). Kemudian nabi Muhammad mengajarkan bagaimana cara shalat, berapa kali dalam sehari, berapa rakaat, dan sebagainya. Itulah sunnah rasul.

Dua Sumber Sunnah Rasul

Seluruh ulama sependapat bahwa kata “kitabullah” yang disabdakan nabi saat wukuf di padang Arafah adalah al-Qur’an. Tetapi tidak semua ulama sependapat bahwa frasa “sunnata rasulih” adalah (hanya) hadis.

Kita perlu tahu bahwa untuk menyusun sebuah hadis, syarat utamanya ada dua yakni: (1) perawi yang jelas dan (2) sanat yang tak terputus. Apabila salah satu syarat tidak terpenuhi maka hadis itu tidak bisa dikatakan sebagai hadis yang shahih alias valid.

Namun karena keterbatasan kemampuan manusia (perawinya lemah, meninggal, dan sebagainya), maka tidak seluruh sunnah rasul dapat terdokumentasi dengan baik kedalam hadis. Sehingga masih ada sunnah rasul yang tidak tercover oleh hadis, namun masih terus diamalkan oleh para ulama secara turun temurun dan menjadi semacam tradisi.

Salah satu contoh adalah tentang tata urut sikap shalat, yang dimulai dari takbiratul ihram hingga diakhiri dengan salam. Tata urut sikap shalat (seperti yang kita lakukan sehari-hari) tidak akan kita dijumpai di hadis manapun. Tetapi urut-urutan sikap shalat itu kita peroleh dari ajaran para ulama yang mengamalkan sunnah rasul melalui tradisi shalat secara turun temurun.

Dengan demikian maka sunnah rasul dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu: Pertama melalui hadis, bilamana perawi-nya jelas dan sanat-nya tak terputus. Dan kedua, melalui para ulama yang mengamalkan sunnah rasul secara turun temurun.

Perbedaan Sunah Rasul dan Hadis

Kebanyakan dari kita berpandangan bahwa hadis sama dengan sunnah (as-Sunnah). Memang antara hadis dan sunnah ada kesamaan, tetapi juga mempunyai perbedaan.

Persamaannya, hadis dan sunnah rasul sama-sama bersumber dari Nabi Muhammad. Hal inilah agaknya yang mendasari pendapat ulama bahwa hadis identik dengan sunnah rasul.

Sedangkan perbedaannya, sunnah rasul berfungsi sebagai penjelas terhadap hukum-hukum (syara’) yang termuat dalam al-Qur’an. Sedangkan hadis mencakup prilaku nabi Muhammad, baik yang berkaitan dengan hukum syara’ maupun tidak.

Perbedaan lain, sebagai penjelas al-Qur’an, sunnah rasul diajarkan oleh nabi Muhammad yang tidak mungkin melakukan kesalahan. Sedangkan hadis ditulis oleh para ulama, sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekeliruan, maka kebenarannya tidak dapat dijamin secara mutlak.

Perbedaan berikutnya, sunnah rasul akan selalu diikuti oleh para sahabat, sedangkan berita yang tertulis dalam hadis tidak selalu dilakukan oleh para sahabat.

Dengan demikian maka Sunnah (as-Sunnah) dan Hadis (al-Hadits), secara sederhana dapat didefinisikan sebagai berikut:

Sunah (as-Sunnah) adalah segala prilaku atau kebiasaan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad, yang berhubungan dengan hukum syara’ dan diikuti oleh para sahabat.

Hadis (al-Hadits) adalah dokumen yang memuat informasi tentang perkataan, perbuatan dan sikap Nabi Muhammad, baik yang berkaitan dengan hukum syara’ maupun tidak.

Secara substansial as-Sunnah merupakan penjelas bagi hukum-hukum syara’ yang termuat di al-Qur’an. Sedangkan al-Hadits cakupannya lebih luas, berkaitan dengan hukum syara’ maupun yang lain.

Pada akhirnya bisa dikatakan bahwa antara hadis dan sunnah dapat dikatakan sama sekaligus berbeda, atau identik tapi punya perbedaan.

Tabel persamaan dan perbedaan antara Sunnah dan Hadis (Gambar: dok. pribadi)

Bid’ah, Bila Tidak Ada Dalil Hadis?

Islam adalah agama yang sempurna. Semua hal sudah diatur dalam al-Qur’an dan al-Hadits. Kesempurnaan Islam tidak perlu ditambah apalagi dikurangi. Apabila ada perbuatan yang tidak ada tuntunannya (dalam hadis) maka itu adalah perbuatan mengada-ada alias bid’ah, yang sesat dan menyesatkan.

Benarkah pemahaman seperti itu?

Telah dijelaskan, bahwa sunnah rasul ‘tidak hanya’ tertulis pada hadis, tetapi juga dari para ulama yang mengamalkan sunnah secara turun temurun. Dengan begitu maka kita tidak bisa memvonis bid’ah yang sesat terhadap satu perbuatan yang tidak ada dalilnya (di al-Qur’an maupun hadis).

Apakah bid’ah itu? Bisa dikatakan bid’ah apabila perbuatan itu benar-benar sebuah amalan yang ‘sama sekali baru’ dan tidak pernah diajarkan nabi sama sekali.

Banyak sahabat nabi mengamalkan suatu amalan yang tidak dilakukan oleh Rasulullah, tetapi diajarkan oleh Rasulullah. Misalnya Umar ibn Khattab yang memelopori “shalat tarawih berjamaah”. Meskipun nabi tidak melakukan shalat tarawih berjamaah, namun shalat tarawih adalah ajaran nabi.

>

Baca juga:Kembali ke Al-Quran dan Hadits?

Contoh lain, Utsman ibn Affan menambah adzan shalat Jumat menjadi dua kali karena sikon masyarakat yang makin banyak dan meluas, tetapi adzannya sama yang bertujuan memanggil shalat. Demikian pula dengan Abdullah bin Amr yang berpuasa ala nabi Daud, yang Rasulullah tidak mengamalkannya namun membenarkannya. Demikian halnya dengan Khubaib bin Adi yang melaksanakan shalat dua rakaat sesaat sebelum dihukum mati oleh kaum kafir Quraisy.

Berikutnya kemudian adalah para ulama mazhab Imam Syafi’i yang mengamalkan “dzikir berjama’ah” seusai shalat berjamaah. Dzikir bukan merupakan amalan baru yang mengada-ada, karena dzikir melantunkan kalimah toyibah sesuai ajaran nabi.

Perlu kita pahami pula bahwa sebuah hadis tidak bisa diklaim mutlak kebenarannya. Karena satu peristiwa yang dilakukan oleh Rasulullah bisa muncul dalam beberapa hadis dengan teks yang berbeda. Hal itu memungkinkan terjadi karena disaksikan oleh beberapa sahabat sebagai perawi pertama dengan sudut pandang dan persepsi yang berbeda. Kemudian disampaikan kepada perawi berikutnya dan ditulis dalam bentuk teks berita dengan kemampuan intelektual yang berbeda pula.

Satu contoh misalnya, bagaimana posisi kedua tangan saat sikap berdiri dalam shalat. Satu sunnah rasul bisa tertulis dalam hadis dengan banyak versi, yakni ada yang bersedekap di atas dada, di bawah dada, di perut, dan di atas pusar maupun di bawah pusar. Bahkan ada pula hadis yang menyatakan meluruskan kedua tangan ke bawah.

Perbedaan dalam matan (redaksi) hadis ini menyebabkan empat imam mazhab besar juga berbeda dalam hal ini. Namun bukan persoalan bagi para ulama yang bijak, semuanya benar tidak ada yang salah karena nabi sendiri tidak pernah mengoreksinya.

Menilai Kualitas Hadis

Banyak orang, terutama yang berorientasi fiqih mempertentangkan kualitas sebuah hadis untuk menentukan derajat kepercayaannya, apakah termasuk dalam kategori shahih (valid), hasan (baik), dhaif (lemah), atau maudhu (palsu).

Namun bagi kalangan yang berorientasi tasawuf, mereka tidak terlalu terpengaruh dengan status atau kualitas sebuah hadis. Mereka akan menerima suatu hadis atau ajaran dengan prinsip asal tidak bertentangan dengan al-Qur’an dan berdampak positif terhadap kualitas keimanan.

Bilamana sebuah hadis (apapun klasifikasinya) bila sudah sesuai dengan prinsip tersebut, maka mereka akan ambil dan amalkan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Cara sederhana menilai sebuah hadis, apakah sesuai ‘sunnah rasul’ atau tidak adalah dengan empat tahap. Pertama, isi hadis tidak bertentangan dengan al-Qur’an. Kedua, tidak bertentangan dengan hadis lain. Ketiga, makna hadis harus logis, sesuai dengan nalar akal sehat. Dan keempat, sesuai dengan nilai-nilai universal, yakni mengandung unsur kebajikan, kemanfaatan, toleran, manusiawi, kasih sayang, adil, dan seterusnya.

Cara sederhana menilai hadis (Gambar: dok. pribadi)

Sunnah dan Hadis Secara Historis

Di masa nabi Muhammad masih hidup dan pada era sahabat hingga generasi tabi’in, sunnah rasul dipraktikkan oleh umat Islam melalui informasi yang beredar dari mulut ke mulut (bhs jawa: getok tular). Pada era itu umat Islam belum mengenal istilah hadis nabi.

Hadis nabi berupa ‘dokumen tertulis’ baru dikenal pada sekitar tahun 101 Hijriyah, saat khalifah Umar bin Abdul Aziz memerintahkan Ibn Syihab al Zuhri untuk mengumpulkan dokumen berisi catatan tentang berbagai hal yang berkaitan dengan prilaku, perkataan dan sikap nabi Muhammad.

Selanjutnya hadis terdokumentasi secara istematis dalam bentuk kitab hadis terjadi pada sekitar tahun Hijriyah. Pembukuan kitab hadis itu dilakukan oleh beberapa ulama hadis antara lain Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i dan Ibnu Majah. Kitab-kitab kumpulan hadis tersebut kemudian dikenal sebagai Kitab Hadits Shahih Bukhari, Hadits Shahih Muslim dan sebagainya.

Proses pembukuan hadis dilakukan dengan penelusuran terhadap para perawi dengan sanat yang tidak boleh terputus. Namun akibat rentang waktu yang cukup panjang, lebih dari 150 tahun sejak Rasulullah wafat maka dalam penulisan hadis memungkinkan terjadi ketidak akuratan, terutama mengenai redaksi (matan hadis).

>

Baca juga:Kontribusi Hadits Sebagai Sumber Pendidikan Islam

Memaknai Hadis Nabi

Tidak semua matan (redaksi) hadis nabi mampu menjelaskan makna hakiki dari sunnah rasul. Karena hadis nabi ditulis berdasarkan sudut pandang dan persepsi para perawi yang berbeda-beda.

Satu contoh, hadis tentang posisi tangan ketika berdiri dalam shalat. Sejumlah hadis menuliskan dengan beberapa keterangan (matan) yang berbeda tentang posisi tangan ketika berdiri dalam shalat, yakni ada yang bersedekap di atas dada, di bawah dada, di perut, di atas pusar maupun di bawah pusar, bahkan ada pula yang meluruskan kedua tangan ke bawah.

Perbedaan dalam penulisan redaksi (matan) hadis bisa terjadi karena para sahabat selaku saksi atau perawi pertama melihat sikap nabi dari sudut pandang dan pemahaman yang berbeda. Kemudian disampaikan secara berlanjut kepada perawi berikutnya dan berikutnya lagi dengan kalimat yang kemungkinan mengalami perubahan.

Hal ini pula yang menyebabkan empat imam mazhab besar juga berbeda dalam pengamalan tata cara shalat. Namun para ulama tidak mempermasalahkan perbedaan itu karena menilai perbedaan itu hanya bersifat furu’iyah (cabang), dan bukan ushuliyah (pokok/prinsip). Bukankah nabi sendiri tidak pernah mempermasalahkan (mengoreksi) sikap shalat para sahabatnya?

Wallahu a’lam bishawab

Lihat Filsafat Selengkapnya Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Lihat Semua Komentar (2)