Blog

Makna Sunnah Serta Perbedaannya Dalam Ilmu Hadis Dan Ushul Fikih 1

Harakah.id – Faktanya, terminologi “sunnah” memiliki keragaman makna, yang membuatnya tidak bisa direbut hanya untuk makna tunggal saja.
Tidak diragukan lagi bahwa Sunnah adalah salah satu sumber ajaran Islam. Ia merupakan sumber syariat Islam. Ketika disebut Sunnah, apalagi sunnah Nabi, maka dapat dipastikan ia adalah sumber syariat Islam. Ini karena fungsi sunnah adalah sebagai bayan (penjelas) bagi al-Quran. Ia tidak hanya menjadibayan atau makna al-Quran saja, melainkan juga bayan tasyri’. Yaitu, menjadi sumber tasyri’ pada saat al-Quran tidak menjelaskannya sama sekali.

Artinya, apapun yang disebut sebagai sunnah, pada dasarnya adalah bernilai tasyri’ alias merupakan syariat Islam, baik itu tasyri’ lil wujub (mewajibkan), tasyri’ lit tahrim (mengharamkan), tasyri’ lin nadb (menganjurkan), tasyri’ lil karahah (memperingatkan), tasyri’ lit takhyir (memberikan opsi atau plihan). Dengan demikian, tidak ada sunnah yang tidak bernilai tasyri’. Domain sunnah bukanlah pada masalah harus diikuti atau tidak harus diikuti saja, melainkan jauh lebih luas dari itu.

Sunnah secara etimologi adalah jalan (at-thariqah)atau perilaku (as-sirah). Baik atau buruk, jika itu menyangkut deskripsi tentang seseorang, maka dapat dikatakan sebagai sunnah. Dengan demikian, ada sunnah yang terpuji (mahmudah, hasanah), dan ada pula sunnahyang tercela (madzmumah, sayyi’ah). Hal ini sesuai dengan hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah,

مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ . وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً فَعُمِلَ بِهَا بَعْدَهُ كُتِبَ عَلَيْهِ مِثْلُ وِزْرِ مَنْ عَمِلَ بِهَا ، وَلَا يَنْقُصُ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ. (رواه مسلم)
“Siapa yang membuat perilaku baik, maka akan diberikan pahalanya dan juga pahala orang-orang yang [meniru] melakukannya tanpa mengurangi hak mereka sedikitpun. Siapa yang berbuat perilaku buruk, maka akan menerma dosanya dan juga dosa orang-orang yang [meniru] melakukannya tanpa mengurangi hak mereka sedikitpun.”

Jelas, makna sunnah di situ adalah perilaku. Ia bukanlah sunnah yang bersumber dari Nabi, melainkan dari seorang muslim. Adakalahnya ia menjadi sunnah yang baik, adakalanya ia berupa sunnah yang buruk. Tentu, pembagian demikian itu tidak berlaku ketika kata “sunnah” telah disandingkan dengan nama Nabi (baca: sunnah Nabi), karena semua yang bersumber dari Nabi adalah berasal dari Allah. Oleh karena itu, semua sunnah yang bersumber dari Nabi pasti sunnah yang baik.

Sebagai istilah yang prinsip dalam Islam, hampir semua ulama dalam berbagai bidang ilmu yang mengkaji tentang agama Islam, pasti membahas tentang sunnah, baik itu sunnah Nabi, maupun sunnah selain Nabi. Hal itu kemudian menyebabkan terjadinya polarisasi dalam pemaknaan sunnah. Masing-masing ahli bidang keilmuan mendefinisikan secara berbeda-beda sesuai dengan objek, bentuk, dan tujuan kajian ilmu yang mereka tekuni.

Para ulama hadis, yaitu ulama ahli riwayah dan dirayah, yang mengkaji segala sesuatu tentang Nabi (selain struktur anatomi tubuh Nabi) mendefinisikan sunnah sebagai:

ما نُسب إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم من قول أو فعل أو تقرير أو صفة خَلْقية أو خُلقية سواء كان قبل البعثة أو بعدها
“Segala sesuatu tentang Nabi, berupa ucapan, perbuatan, ketetapan, sifat/deskripsi fisik maupun karakter, baik itu sebelum diutus menjadi Rasul ataupun sesudahnya.”

Dari definisi itu pulalah, para ulama hadis meriwayatkan dan mengkaji apapun yang diyakini berasal dari Nabi, atau tentang diri Nabi. Tidak peduli apakah itu tentang deskripsi fisiknya atau tentang perilakunya. Semuanya adalah informasi penting. Kejadian-kejadian saat Nabi masih kecil pun menjadi perhatian para ulama hadis, sehingga mereka berusaha keras menjaganya dengan periwayatan yang ketat.

Ini juga bernilai tasyri, sehingga tak jarang kita dapati seorang muslim meniru pola pekmbangan kehidupan Nabi, dari kecil hingga tua. Bahkan dalam hal yang menyangkut deskripsi fisik pun, tak sedikit umat Islam yang berusa menirunya sehingga mereka harus menggunakan obat penumbuh rambut agar dapat berjenggot. Lagi-lagi, ini juga bernilai tasyri. Sedangkan tasyri’ itu tidak harus berarti wajib, melainkan ia juga dapat bernilai hukum mubah.

Dengan demikian, sunnah dalam definisi ahli hadis adalah pelaporan berita tentang Nabi; dari perilaku, ucapan, ketetapan, sifat, karakter, dan deskripsi fisik, menjadi teks. Teks tersebut tidak akan berguna jika tidak diolah lagi. Oleh karena itu, teks tersebut kemudian diproses melalui ilmu ushul fikih sehingga menjadi bernilai hukum atau tidak, dapat diamalkan atau tidak.

Sementara itu dalam ilmu ushul fikih, sunnah didefinisikan sebagai,

خطاب الشارع المتعلق بأفعال المكلف اقتضاء كان أو تخييرا
“Kandungan pembicaraan (khithab) Allah dan RasulNya yang berkaitan dengan perbuatan orang dewasa, baik itu berupa tuntutan atau pilihan.”

Dalam istilah yang lebih singkat, sunnah adalah sumber syariat. Ia berposisi sama sebagaimana al-Quran. Definisi tersebut tepat karena memang objek ilmu ushul fikih adalah teks al-Quran-hadis, dan dalil-dalil agama (nassh). Dari definisi ini juga dipahami bahwa semua sunnah adalah tasyri’iyyah (bernilai syariat) selama ia mengandung khithab yang berkenaan dengan perbuatan orang dewasa (mukallaf). Jika tidak berkaitan dengan perbuatan orang dewasa, maka tidak bernilai tasyri’.

Dalam hal hadis tentang postur tubuh Nabi, yaitu Nabi tidak terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek, karena tidak berkenaan dengan perbuatan mukallaf, maka bukan termasuk tasyri’. Namun, ia dapat bernilai tasyri’, jika dikaitkan dengan perbuatan mukallaf. Misalnya, ada orang yang ingin berpostur tubuh seperti gambaran postur Nabi dalam hadis, lalu ia rajin fitness danberolahraga, maka hal itu juga bernilai tasyri’, yaitu berupa pilihan saja (takhyir, mubah). Jika dilakukan, maka tidak apapa, tidak perlu dicaci. Jika tidak dilakukan, juga tidak berdosa dan jangan dipaksa melakukannya.

Dari definisi sunnah dalam ilmu hadis maupun dalam ilmu ushul fikih tersebut, terdapat titik temu atau kesamaan antara keduanya, yaitu sunnah adalah teks. Bedanya, sunnah dalam ushul fikih adalah teks yang sudah jadi dan siap untuk diproses menjadi produk hukum. Sedangkan sunnah dalam ilmu hadis adalah hal ihwal Nabi dan kenabian. Awalnya, ia belum berupa teks. Namun, kemudian diverbalisasi sehingga menjadi teks yang siap diolah menjadi hukum melalui ilmu ushul fikih.

Dalam hal ini, bukan berarti hanya ahli ushul fikih saja yang berhak mengolah teks tersebut menjadi produk hukum, melainkan ahli hadis juga dan ahli-ahli ilmu lain juga mampu selama mengetahui kaidah-kaidah dan ilmu ushul fikih.

Lalu, bagaimana dengan sunnah dalam ilmu fikih didefinisikan? Apakah sunnah dalam ilmu fikih juga berkenaan atau berupa teks? Apa perbedaannya dengan sunnah dalam ilmu hadis dan ilmu fikih? Simak ulasannya dalam link berikut ini!

Bersambung…