Blog

Filsafat Dan Pandemi Covid19

PERTANYAAN objective-scientific seputar covid-19 dan dampak sosialnya tentu saja lebih tepat dibicarakan para dokter, pakar ekonomi dan ahli kebijakan publik. Lalu, masih adakah ruang diskursus untuk filsafat?

Filsafat tentu saja memiliki peran yang sangat penting dalam mengelaborasi setiap persoalan krusial, termasuk soal pandemi covid 19. Peran filsafat itu, meminjam ungkapan Slavoj Zizek, lebih sebagai unruhestifter – ‘pencipta kegaduhan’.

Peran ini sudah dihayati filsafat sejak zaman Sokrates, yakni “Die Jugend zu verderben, sie zu entfremden von der vorherrschenden ideologisch-politischen Ordnung, radikalen Zweifel zu sa?en und sie dazu zu befa?higen, eigensta?ndig zu denken” (“Mengguncang pikiran generasi muda, menjauhkan mereka dari tatanan politik ideologi mainstream, menabur keraguan radikal, dan memampukan mereka untuk berpikir mandiri.”)

Peran penting

Sebagai unruhestifter, filsafat dapat menjalankan sekurang-kurangnya dua peran penting dalam mengatasi pendemi covid-19. Pertama, filsafat berperan mengkritisi model pembangunan ekonomi neoliberal yang telah menciptakan bencana ekologis.

*Menurut perkiraan World Health Organization (WHO), setiap tahun sekitar 4,2 juta penduduk dunia meninggal akibat polusi udara (Bdk. /health-topics/air-pollution#tab=tab_1). Perubahan iklim juga akan berdampak pada penambahan angka kematian sebesar 250 ribu orang dalam periode . Jika tidak ada langkah radikal dalam mengubah model pembangunan, kerusakan ekosistem akan berakibat pada munculnya pandemi ganas lain di masa depan.

Di hadapan sistem pembangunan yang eksploitatif dan destruktif terhadap ekologi, filsafat menampilkan kodratnya sebagai sebuah sistem berpikir subversif. Artinya, filsafat adalah sebuah metode berpikir kritis yang menentang setiap tatanan status quo.

Berhadapan dengan paradigma pembangunan neoliberal mainstream, filsafat tampil sebagai sebuah kekuatan provokatif. Namun Zizek berpandangan bahwa peran subversif sangat sulit dijalankan filsafat dalam masyarakat Barat kontemporer.

Alasannya, manusia modern tidak lagi hidup dalam sebuah tatanan totaliter. Tapi, masyarakat liberal yang mengajarkan: jadilah dirimu sendiri, beranilah mengungkapkan dirimu apa adanya. Jadi perbudakan justru terjadi di tengah kondisi yang seolah-olah bebas.

Subjek dalam masyarakat modern, menurut Zizek, berada dalam samudera pilihan-pilihan bebas. Ia dapat bepergian ke mana saja dan mengonsumsi apa yang disukainya. Identitas personal dan kecenderungan seksual dapat selalu direkonstruksi secara baru.

Seorang manajer atau pengusaha dapat mencoba pelbagai pekerjaan yang diinginkannya. Namun, pilihan-pilihan bebas itu akhirnya berubah menjadi keharusan untuk memilih dan bermuara pada jajahan atau perbudakan Ueber-Ich (superego): Kita harus terus mengonsumsi, menemukan diri secara baru, agar dapat mengikuti perkembangan supercepat masyarakat kapitalis.

Akibat dari perbudakan Ueber-Ich, manusia modern terperangkap dalam budaya konsumtif dan hedonis. Guna memenuhi naluri hedonisme konsumtif masyarakat kapitalis, sistem ekonomi neoliberal melebarkan sayapnya ke negara-negara dunia ketiga yang memberi upah rendah kepada buruh dan mempekerjakan anak di pabrik-pabrik.

Eksploitasi adalah sebuah keniscayaan agar roda mesin kapitalisme terus berputar. Tugas filsafat dalam kondisi seperti ini menurut Zizek ialah membuka mata generasi muda terhadap bahaya nihilisme yang berbusana kebebasan tanpa norma.

Kita sedang hidup di masa krisis di mana identias kita tidak lagi berpijak pada tradisi. Suatu masa saat tak ada struktur makna dan tatanan nilai yang memampukan manusia untuk hidup melampaui prinsip hedonisme kapitalis.

Kedua, filsafat memberikan pertimbangan etis atas kebijakan herd immunity untuk mengatasi pandemi covid-19. Herd immunity atau kekebalan komunitas terbentuk setelah mayoritas sembuh dari infeksi patogen. Caranya dengan vaksinasi atau membiarkan tubuh terinfeksi penyakit.

Pada tahun 1918, misalnya, dunia mengalami pandemi flu atau dikenal dengan flu Spanyol. Karena vaksin belum ditemukan, herd immunity terbentuk lewat cara alami.

Diperkirakan, sepertiga dari penduduk dunia atau 500 juta penduduk terinfeksi virus influenza. 50 juta di antaranya meninggal dunia karena kekebalan tubuh tidak cukup kuat ketika virus dibiarkan masuk ke dalam tubuh manusia.

Karena vaksin belum ditemukan, sejumlah negara coba menerapkan herd immunity untuk mengatasi pandemi covid-19. Pendekatan ini pertama kali dianjurkan Perdana Menteri Inggris, Boris Johnson. Akan tetapi, pemerintah Inggris akhirnya mengubah kebijakan itu, karena menurut perikiraan para ahli pendekatan herd immunity bisa berakibat pada meningkatnya angka kematian di Inggris karena covid-19 sampai angka 250 ribu orang (Bdk. Isabel Frey, 2020).

Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19, Doni Monardo, pemerintah Indonesia pada awal munculnya pandemi menolak memberlakukan lockdown dan pernah ingin menerapkan pendekatan herd immunity (Bdk. /read/ /indonesia-hindarilockdown- apakah-herd-immunityakan- jadi-skenario?page=all).

*Basis etis penerapan herd immunity antara lain prinsip utilitarianisme. Utilitarianisme bertolak dari prinsip “the greatest happiness of the greatest number” – “Kebahagiaan terbesar dari jumlah terbesar orang”. Artinya, satu orang boleh saja dibunuh untuk kepentingan banyak orang.

Atau dalam konteks penerapan herd immunity untuk mengatasi pandemic covid-19, beberapa orang boleh saja menjadi korban agar sebagian besar populasi menjadi kebal terhadap virus korona.

Akan tetapi, pendekatan ini bertentangan dengan prinsip martabat manusia yang memiliki nilai an sich dan tidak boleh diinstrumentalisasi untuk kepentingan apa saja.

Kelemahan dasar prinsip utilitarianisme ialah bahwa ia bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak. *Karena kriteria utilitarianisme adalah kebaikan mayoritas (the greatest number), hak dasar individu atau kelompok minoritas boleh saja dihilangkan.

Dengan demikian, utilitarianisme menciptakan ketidakadilan terhadap yang kecil atau lemah. Dalam kenyataan, pendekatan herd immunity guna mengatasi pandemi virus korona diterapkan negara-negara yang dalam beberapa tahun terakhir mengikuti kebijakan ekonomi neoliberal. Neoliberalisme menggantikan kebijakan sosial (pendidikan, kesehatan, perumahan) yang dibiayai negara dengan paradigma privatisasi dan deregulasi pasar bebas.

Neoliberalisme dibangun di atas iman akan keadilan inheren pasar bebas yang dianggap sebagai rasionalitas pasar yakni profit mendahului manusia. Dalam kaca mata neoliberalisme, kebijakan herd immunity merupakan pendekatan yang paling efisien. Karena, membebaskan negara dari tanggung jawab untuk membiayai sistem kesehatan melawan pandemi.

Dari perspektif neoliberalime, kematian karena pandemi covid-19 tidak dilihat sebagai akibat kegagalan kebijakan negara, tapi karena virus yang terlalu ganas.