Blog

Filsafat Analitik Rumah Filsafat

Oleh Reza A.A Wattimena

Apa yang dimaksud dengan filsafat analitik? Mengapa menggunakan kata “analitik”? Apa arti kata “analitik” di sini?

Pertanyaan-pertanyaan itu biasa muncul di kepala orang yang terbiasa mempelajari filsafat kontinental Eropa, seperti saya misalnya. Memang, filsafat kontinental penuh dengan metafisika, estetika, dan filsafat moral. Kesemuanya itu, jika dilihat dari sudut pandang filsafat analitik, menjadi tidak bermakna.

Bagaimana argumentasi para filsuf analitik tersebut? Siapa saja tokoh-tokohnya, dan apa isi pemikiran mereka?

Untuk menjawab pertanyaan ini, saya menggunakan kerangka pemikiran yang telah dibuat oleh Roger Jones untuk menjelaskan arti filsafat analitik. Baginya, tindak menganalisis berarti tindak memecah sesuatu ke dalam bagian-bagiannya. Tepat itulah yang dilakukan oleh para filsuf analitik.

Filsafat analitik sendiri, secara umum, hendak mengklarifikasi makna dari penyataan dan konsep dengan menggunakan analisis bahasa. Di dunia berbahasa Inggris, tradisi filsafat semacam ini telah menjadi bagian penting di dalam refleksi filosofis sejak awal abad ke-20.

Pasca filsafat Immanuel Kant dan perkembangan pemikiran neo-Kantian pada akhir abad ke-19, dunia filsafat seolah terbelah dua. Di satu sisi, para filsuf di Eropa Kontinental mengembangkan idealisme Hegelian, eksistensialisme Nietzsche dan Heidegger, dan post-strukturalisme. Sementara, di sisi lain, para filsuf Inggris dan Amerika bergerak ke arah yang hampir sama sekali berlawanan, yakni filsafat analitik.

Para filsuf analitik berpendapat bahwa filsuf Jerman, Gottlob Frege ( ), adalah filsuf terpenting setelah Immanuel Kant. Frege hendak merumuskan logika yang rigorus sebagai metode berfilsafatnya. Dengan kata lain, filsafat itu sendiri pada intinya adalah logika.

Dalam hal ini, ia dipengaruhi filsafat analitik, filsafat-logika, dan filsafat bahasa. Frege berpendapat bahwa dasar yang kokoh bagi matematika dapat ‘diamankan’ melalui logika dan analisis yang ketat terhadap logika dasar kalimat-kalimat. Cara itu juga bisa menentukan tingkat kebenaran suatu pernyataan.

Filsuf Inggris, Bertrand Russell ( ), mencoba menggabungkan logika Frege tersebut dengan empirisme yang sebelumnya telah dirumuskan oleh David Hume. Bagi Russell, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis (atomic facts).

Dalam konteks ini, kalimat-kalimat barulah bisa disebut sebagai kalimat bermakna, jika kalimat tersebut berkorespondensi langsung dengan fakta-fakta atomik. Ludwig Wittgenstein ( ) juga nantinya banyak dipengaruhi oleh Russell. Dia sendiri mempengaruhi Lingkaran Wina dan membantu membentuk aliran positivisme logis pada dekade an.

Ada patahan yang sangat besar di dalam perjalanan pemikiran Wittgenstein. Pada karya-karya awalnya, Wittgenstein melihat bahasa sebagai sesuatu yang secara penuh mampu menggambarkan dunia (picturing the world). Sementara, pada karya-karya berikutnya, ia memahami bahasa dengan menggunakan metafor permainan (metaphor of a game).

Perubahan titik tolak pemikiran ini seolah menyulut perkembangan filsafat linguistik pada pertengahan abad ke-20. Para filsuf linguistik, diantaranya adalah Gilber Ryle ( ), bahkan berpendapat bahwa permasalahan tradisional di dalam filsafat sebenarnya dapat diselesaikan, jika kita mau menganalisis bahasa dalam penggunaannya secara detil.

Pada dekade 1970-an, dunia filsafat seolah mengalami ketidakpuasan dengan filsafat linguistik. Para filsuf pun mulai menunjukkan ketertarikan terhadap filsafat pikiran (philosophy of mind), serta bagaimana penerapannya pada isu-isu yang lebih global, seperti politik, etika, dan bahkan pada hakekat filsafat itu sendiri.

Richard Rorty (1931-) justru menggunakan metode filsafat analitik untuk ‘mendekonstruksi’ pengandaian-pengandaiannya sendiri. Ia dipengaruhi oleh Heidegger, Wittgenstein, dan gaya berfilsafatnya mendekati gaya berpikir post-strukturalisme. Jones berpendapat bahwa di dalam pemikiran Rortylah filsafat analitik dan filsafat kontinental seolah beririsan, dan memiliki keprihatinan yang sama.

Filsafat Atomisme Logis Bertrand Russell

Pada awalnya, Russell sangat dipengaruhi oleh filsafat Idealisme. Akan tetapi, setelah pertemuannya dengan G E Moore, Russell mulai mempertimbangkan empirisme sebagai bagian dari filsafatnya sendiri.

Russell banyak bekerja sama dengan Whitehead ( ) dalam bidang filsafat matematika. Mereka, bersama Frege, hendak menunjukkan bagaimana matematika dapat diturunkan dari persamaan-persamaan logika.

Nah, di dalam proses tersebut, Russell pun memasuki refleksi filsafat bahasa. Ia hendak ‘memeriksa’ kesahihan bahasa.

Ia berpendapat bahwa grammar dari bahasa yang biasa kita gunakan sebenarnya tidak tepat. Baginya, dunia terdiri dari fakta-fakta atomis, dan hanya bahasa-bahasa yang mengacu pada fakta atomis inilah yang dapat disebut sebagai bahasa yang sahih. Oleh karena itu, ia berpendapat bahwa salah satu tugas terpenting filsafat adalah menganalisis proposisi-proposisi bahasa untuk menguji kesahihan ‘forma logis’ dari proposisi tersebut.

Misalnya, Russell berpendapat bahwa kata-kata seperti ‘laki-laki pada umumnya’ dapat menggiring orang ke dalam kebingungan. Seperti ditunjukkan Jones, kalimat ‘laki-laki pada umumnya biasanya mempunyai 2.6 anak’ menunjukkan bahwa kata ‘laki-laki pada umumnya’ haruslah dimengerti sebagai konstruksi logis.

Kata itu bukanlah fakta atomis, melainkan sebuah pernyataan matematis yang rumit yang mengacu pada jumlah tertentu dari laki-laki. Russell juga berpendapat bahwa kata-kata seperti “negara” dan “opini publik” juga merupakan sebuah konstruksi logis, dan para filsuf melakukan kesalahan, ketika mereka memperlakukan konsep-konsep ini seolah konsep-konsep ini sungguh ada.

Tractatus Ludgwig Wittgenstein

Wittgenstein banyak belajar dari Russell. Ia juga memberikan kontribusi cukup besar bagi filsafat atomisme logis.

Pada 1921, Wittgenstein mempublikasikan tulisannya yang berjudul Tractatus Logico-Philosophicus. Di dalam buku itu, ia merumuskan teori gambar tentang makna (picture theory of meaning).

Sebuah gambar dapat menggambarkan realitas dengan mengacu pada obyek yang ada di dalam realitas tersebut. Pada titik ini, Wittgenstein berpendapat bahwa setiap kalimat, jika kalimat tersebut hendak dikatakan sebagai kalimat bermakna, haruslah mencerminkan realitas sebagaimana gambar dapat mencerminkan realitas.

Kalimat-kalimat berisi kata-kata yang mengacu pada obyek yang ada di dunia. Dan seperti Russell, Wittgenstein berpendapat bahwa grammar dari sebuah bahasa seolah menyembunyikan forma logisnya.

Jika kita menganalisis suatu kalimat secara detil, kita akan bisa membedakan dua elemen partikel bahasa, yakni elemen partikel yang sungguh menggambarkan dunia, dan konstanta logis, seperti ‘jika’, ‘dan’, dan ‘atau’. Sebuah kalimat yang tidak menggambarkan dunia adalah kalimat yang tidak bermakna.

Nah, jika hanya pernyataan-pernyataan dan kalimat-kalimat yang menggambarkan dunia, yakni pernyataan tentang fakta, adalah pernyataan yang bermakna, maka pernyataan tentang etika, agama, seni, dan pernyataan-pernyataan dasar di dalam metafisika tidaklah bermakna. Inilah yang kiranya tertulis di dalam Tractatus.

“Proposisi saya”, demikian tulis Wittgenstein, seperti dikutip oleh Jones, “berfungsi sebagai penjelasan dengan beberapa cara berikut: setiap orang yang mengerti saya pada akhirnya akan mengenali semua ini (etika, moral, agama, seni) sebagai ‘yang bukan-bukan’, ketika ia menggunakan semua itu –sebagai langkah- untuk memanjat melampaui mereka. Ia harus, dengan begitu, membuang tangga setelah ia selesai memanjatnya.”

Lingkaran Wina: Filsafat Positivisme Logis

Lingkaran Wina terdiri dari beberapa ilmuwan-filsuf dan para ahli logika. Moritz Schlick ( ) adalah pimpinan resmi mereka. Beberapa anggota lainnya adalah Rudolf Carnap ( ), Otto Neurath ( ), dan Kurt Goedel ( ).

Mereka sangat dipengaruhi oleh filsafat yang dikembangkan oleh Russell dan Frege. Wittgenstein, walaupun tidak secara resmi bergabung dengan kelompok ini, juga beberapa kali berdiskusi dengan Carnap dan Schlick.

Kelompok ini mulai aktif berdiskusi pada pertengahan dekade 1920-an. Akan tetapi, setelah Schlick dibunuh oleh seorang mahasiswa yang sakit jiwa pada 1936, dan berkembangnya kekejaman NAZI, kelompok ini akhirnya terpecah.

Nah, filsafat positivisme logis yang dikembangkan para filsuf Lingkaran Wina ini dapat dilihat sebagai pengembangan dari filsafat Wittgenstein di dalam Tractatus. Hanya pernyataan yang bermakna sajalah yang memiliki makna. “Makna dari sebuah proposisi”, demikian tulis Schlick, seperti dikutip Jones, “adalah metode untuk memverifikasi proposisi tersebut.”

Dengan demikian, semua pernyataan yang tidak mampu diverifikasi tidaklah bermakna. Pernyataan tentang Tuhan, etika, seni, dan metafisika, bagi para filsuf Lingkaran Wina, tidaklah bermakna.

Ini adalah reaksi terhadap idealisme Jerman yang telah sangat mempengaruhi filsafat pada waktu itu. Oleh karena itu, peran filsafat bukanlah lagi sebagai penyingkap dari kesadaran diri roh absolut, melainkan sebagai alat ilmiah untuk mengklarifikasi konsep-konsep.

Permainan Bahasa; Wittgenstein kemudian

Pada akhir dekade 1930-an, Wittgensten menjadi sangat kritis dengan teori gambar tentang makna yang pernah dirumuskannya. Di dalam karya-karya selanjutnya, ia berpendapat bahwa makna dari suatu kata tidak lagi dilihat dari acuannya terhadap fakta-fakta atomis, tetapi dari penggunaan kata tersebut.

Kita menggunakan bahasa dengan banyak cara, seperti untuk berbicara tentang ilmu pengetahuan, tentang agama, tentang seni, dan sebagainya. Nah, Wittgenstein, pada karya-karya akhirnya, tidak setuju dengan para filsuf positivisme logis yang berpendapat bahwa pernyataan yang bermakna hanyalah pernyataan ilmiah, karena ilmu pengetahuan hanyalah salah satu cara untuk berbicara tentang dunia, yakni hanya salah satu ‘permainan bahasa’ (language game).

Permainan bahasa ini menggambarkan aktivitas manusia. Jika ilmu pengetahuan memiliki permainan bahasanya sendiri, maka kita juga bisa berpartisipasi di dalam permainan bahasa agama-agama, permainan bahasa estetika, dan banyak permainan bahasa lainnya. Pada titik ini, kata-kata memiliki maknanya dari penggunaannya di dalam suatu permainan bahasa tertentu.

Dengan demikian, kata-kata tidak lagi dianggap memiliki esensi yang bersifat khusus, atau mengacu langsung pada obyek-obyek partikular. Kata-kata memiliki beragam kegunaan, dan beragam penggunaan ini memiliki kemiripan, atau apa yang disebut Wittgenstein sebagai ‘kemiripan familial (family resemblance).

Kata-kata yang memiliki kemiripan familial ini jelas memiliki kesamaan, tetapi tidak pernah ada kata yang penggunaannya benar-benar identik. Misalnya, kata ‘permainan’ yang biasa digunakan untuk menunjukkan permainan sepak bola, permainan basket, permainan catur, permainan tali, dan sebagainya. Di dalam kata-kata tersebut, kata permainan tidak memiliki karakter esensial yang sama, tetapi lebih sebagai kata-kata yang memiliki kemiripan dan maknanya saling tumpang tindih.

Wittgenstein lebih jauh berpendapat bahwa permasalahan-permasalahan filsafat muncul, karena ‘bahasa sedang berlibur!”. Artinya, permasalahan filsafat muncul, ketika kita memperlakukan bahasa secara eksklusif terisolasi dari konteks permainan bahasanya.

Misalnya, seperti yang dicontohkan oleh Jones, jika kita hendak mendefinisikan arti dari kecantikan, dan tidak menempatkan kata tersebut di dalam konteks permainan bahasa yang sedang kita pakai, maka kita akan mengalami kebingungan. Dengan demikian, tugas filsafat bagi Wittgenstein bersifat menyembuhkan, yakni “penyembuhan seorang filsuf terhadap pernyataan dan pertanyaan, seperti penyembuhan dari sakit.” Pertanyaan yang sakit adalah pertanyaan dibingungkan oleh akal budi manusia yang hendak mencampurkan dua hal yang sebenarnya memiliki konteks yang berbeda.

Argumentasi Bahasa Privat

Setelah kematian Wittgenstein, banyak filsuf yang mendiskusikan salah satu tema yang dikembangkan oleh Wittgenstein, yakni tentang ketidakmungkinan adanya bahasa privat. Memang, semenjak Descartes, filsafat telah mengandaikan bahwa pengetahuan yang paling sahih dan tidak bisa diragukan lagi adalah pengetahuan yang didasarkan pada pengalaman privat (private experience).

Pembedaan yang dibuatnya antara ‘yang mental’ dan ‘yang material’ juga dibuat atas dasar pengandaian ini. David Hume, seorang filsuf empirisme asal Inggris, juga bependapat bahwa titik awal dari pengetahuan yang pasti adalah pengalaman individual.

Di sisi lain, Wittgenstein melihat bahasa sebagai bagian dari aktivitas sosial yang memiliki aturan-aturan yang bersifat sosial juga. Oleh karena itu tidak mungkinlah bagi seorang individu menciptakan bahasa privatnya sendiri.

Bagaimana mereka, yakni para filsuf seperti Descartes dan Hume, yakin bahwa ketika mereka menggunakan suatu kata, mereka telah menggunakannya dengan tepat? Bagi Wittgenstein, jika seseorang tidak memiliki cara untuk secara eksternal memeriksa kesahihan konsep-konsep yang ia gunakan, maka ia tidaklah menggunakan bahasa apapun.

Dengan demikian, jika bahasa privat tidak mungkin ada, maka akar dari seluruh filsafat modern juga tidak mungkin ada, dan seluruh filsafat modern sebenarnya tidaklah punya dasar yang kokoh. Jika bahasa privat tidak ada, maka makna pun dimengerti secara publik dalam ranah sosial.

Seluruh argumen ini menunjukkan, bahwa kepastian orang-pertama yang mendasari seluruh filsafat rasionalisme dan empirisme sudah salah sejak awal!

Filsafat dan Cermin Realitas: Richard Rorty

Richard Rorty adalah seorang filsuf asal Amerika yang dididik di dalam tradisi filsafat analitik. Tidak seperti para pendahulunya, Rorty juga banyak dipengaruhi oleh filsafat Heidegger dan Sartre, sama seperti ia juga telah dipengaruhi oleh Wittgenstein.

Salah satu keberhasilan Rorty adalah bahwa ia berhasil mengartikulasikan tradisi filsafat kontinental dalam konteks ‘permainan bahasa’ filsafat analitik yang banyak berkembang di negara-negara Anglo-Amerika. Baginya, filsafat semenjak Descartes telah berupaya menyediakan fondasi yang kokoh bagi pemahaman manusia akan dunianya.

Kant berpendapat bahwa kita menafsirkan dunia sudah selalu melalui kategori-kategori pemahaman universal yang bersifat tak terkondisikan di dalam akal budi kita. Tugas filsafat adalah menyingkapkan realitas yang ada, baik realitas subyektif yang ada di dalam diri subyek, maupun realitas obyektif di dalam alam natural, yakni alam sebatas fenomena atau penampakan bagi intuisi apriori ruang dan waktu di dalam diri subyek.

Nah, bagi Rorty, pemahaman manusia tidaklah didasarkan pada struktur obyektif dari pikiran manusia, melainkan kita menafsirkan dunia melalui beragam paradigma yang ada. Oleh karena itu, tidak ada titik tolak yang bersifat universal obyektif bagi filsafat.

Pernyataan bahwa filsafat merupakan ratu dari semua ilmu-ilmu, yakni sebagai penentu yang mana ilmu pengetahuan dan yang mana yang bukan, pun kini tidak lagi dapat dipertahankan. Bagi Rorty, dengan demikian, tujuan filsafat adalah untuk membantu para pembacanya, atau masyarakat sebagai keseluruhan, terbebaskan dari bahasa-bahasa dan konsep-konsep usang yang tidak lagi memadai untuk digunakan. Filsafat bukanlah suatu refleksi kritis dan komprehensif untuk menyediakan pengetahuan yang pasti tentang dunia bagi manusia.

Timeline Frege publishes “Begriffsschrift” Russell & Whitehead Publish “Principia Mathematica” Wittgenstein comes to study with Russell at Cambridge Russell lectures on Logical Atomism Wittgenstein publishes “Tractatus Logico-Philosophicus” Schlick awarded chair of Philosophy in Vienna, birth of the Vienna Circle Death of Frege Wittgenstein returns to Cambridge, resumes philosophy Murder of Schlick, Vienna Circle disperses from continental Europe. Ryle publishes “The Concept of Mind” Wittgenstein dies of cancer Posthumous publishing of Wittgenstein’s “Philosophical Investigations” Death of Russell Richard Rorty publishes “Philosophy and the Mirror of Nature”