Blog

Etika Administrasi Publik Administrasi Publik

Etika Administrasi Publik Pendahuluan
Administrasi adalah ilmu yang mempelajari negara serta kepentingan publik serta dituntut bertanggung jawab terhadap publik yang dilayaninya. Birokrasi publik pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Tetapi faktanya, banyak birokrat pemerintah yang tidak memiliki kopetensi dan akuntabilitas yang tinggi dalam melaksanakan tugas, wewenang dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Birokrasi adalah lembaga yang paling banyak di sorot oleh masyarakat terkait dengan kinerja dan etika. Perhatian masyarakat ditujukan pada praktek yang menyimpang (mal-administration) dari etika administrasi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya. Ini menunjukkan pentingnya etika dalam administrasi publik. Etika dan tingkah laku manusia saling berkaitan sehingga bisa dipertanggungjawabkan.

Definisi Etika Administrasi Publik

Berdasarkan ensiklopedi, etika disebut sebagai ilmu kesusilaan yang menentukan bagaimana manusia hidup dalam masyarakat; apa yang baik dan apa yang buruk. Secara etimologis, kata “etika” yang berasal dari bahasa Yunani yaitu ethos memiliki makna kebiasaan atau watak. Etika adalah sebuah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak sehingga dapat diketahui bahwa masalah etika selalu berhubungan dengan kebiasaan atau watak manusia (sebagai individu atau dalam kedudukan tertentu), baik kebiasaan baik maupun kebiasaan buruk.

Dari definisi di atas dapat diketahui bahwa etika bertalian erat dengan administrasi publik. Filsafat dan etika selalu berkaitan langsung bahkan dengan nilai, dan moral sedangkan administrasi publik berkaitan dengan pembuatan kebijakan, pengambilan keputusan, dan pengimplementasian kebijakan.

Urgensi Etika Administrasi Publik

Etika administrasi publik dapat ditelusuri keberadaaannya dari paradigma ilmu administrasi publik. Cara pandang antara dikotomi politik dan administrasi menegaskan bahwa pemerintah memiliki dua fungsi yang berbeda, yaitu fungsi politik dan fungsi administrasi. Politik selalu berkaitan dengan pembuatan kebijakan atau pernyataan yang menjadi keinginan negara. Sedangkan fungsi administrasi berkenaan dengan pelaksanaaan kebijakan-kebijakan tersebut. Berdasarkan dari paradigma tersebut, maka etika diperlukan dalam administrasi publik.

Dua point penting yang terdapat dalam etika, yaitu: pertama sebagai pedoman dan acuan bagi administrator publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya; kedua, etika administrasi publik (etika birokrasi) sebagai standar penilaian perilaku dan tindakan administrator publik.

Pendekatan Etika Administrasi Publik
Ada beberapa pendekatan yang dilakukan oleh etika dalam menentukan baik dan buruknya kajian administrasi. Di antaranya adalah (Poedjawijatna, 1986: 139) sebagai berikut:
1. Aliran sosialisme. Menurut aliran ini, adat istiadat masyarakat setempat yang akan menentukan baik dan buruk sebuah perilaku manusia.
2. Aliran hedonisme (hedone adalah perasaan akan kesenangan). Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang akan mendatangkan kesenangan, kenikmatan atau rasa puas kepada manusia. Perbuatan yang baik adalah segala sesuatu yang mendatangkan kelezatan, kenikmatan dan kepuasan nafsu biologis.
3. Aliran intuisisme. Aliran ini beranggapan bahwa setiap individu manusia mempunyai naluri batin yang dapat membedakan baik dan buruk dengan sekilas pandang. Kekuatan ini bisa berbeda reaksinya, karena pengaruh masa dan lingkungan, akan tetapi ia dasarnya tetap sama dan berakar pada tubuh manusia.
4. Aliran utilitarianisme. Aliran paham ini berpendapat bahwa yang baik adalah yang berguna. Berguna bagi individu, masyarakat, dan lingkungan.
5. Aliran vitalisme. Kekuatan mencerminkan kebaikan dalam diri manusia. Kekuatan dan kekuasaan yang dimiliki seorang manusia yang digunakan untuk menaklukkan orang lain yang lemah dianggap sebagai sesuatu hal yang baik.
6. Aliran religiusisme. Perbuatan yang baik adalah perbuatan yang dilakukan sesuai dengan kehendak Tuhan. Sedangkan perbuatan yang buruk adalah perbuatan yang dilakukan bukan atas kehendak Tuhan.
7. Aliran evolusisme. Menurut aliran ini bahwa semua yang terjadi di alam ini pasti mengalami evolusi, yaitu berkembang dari apa adanya menuju kesempurnaannya.

Pendekatan etika dalam ilmu administrasi publik dibedakan menjadi dua, sebagai berikut:
1. Pendekatan teleologi. Menurut pendekatan ini, baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh administrasi adalah ’nilai kemanfaatan’ yang akan diperoleh atau dihasilkan. Pendekatan ini terbagi dua macam yaitu ethical egoism dan utilitarianism. Ethical egoism mengembangkan kebaikan bagi dirinya. Kekuasaan pribadi adalah tujuan yang benar untuk seorang administrator pemerintah. Sedangkan utilitarianism mengupayakan yang terbaik untuk banyak orang.
2. Pendekatan deontologi. Pendekatan deontologi merupakan kebalikan pendekatan teleologi. Etika dan moral menurut pendekatan ini sebagai prinsip utama dalam administrasi.

Nilai-nilai Etika Administrasi Publik

Nilai dalam etika administrasi publik yang dapat digunakan sebagai acuan dan pedoman bagi penyelenggara administrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Widodo (2001: ) menguraikannya sebagai berikut.
1. Pertama, nilai efisiensi. Nilai efisiensi artinya tidak boros. Birokrasi publik (administrasi publik) dikatakan baik jika memiliki sikap, perilaku, dan perbuatan yang efisien (tidak boros). Resources public tidak boleh dipergunakan secara boros, tidak boleh digunakan untuk proyek-proyek yang tidak menyentuh kepentingan masyarakat luas, atau disalahgunakan untuk memperkaya diri.
2. Nilai membedakan milik pribadi dengan milik kantor. Birokrasi publik yang baik adalah birokrasi publik yang dapat menempatkan posisi pada tempatnya dan membedakan mana milik kantor dan mana milik pribadi. Maknanya birokrasi tidak akan menggunakan milik kantor untuk kepentingan pribadi.
3. Nilai impersonal. Hubungan kerjasama yang diwadahi oleh organisasi, hendaknya dilakukan secara formal (impersonal) dan tidak pribadi (personal). Hubungan impersonal harus dilakukan untuk menghindari menonjolkan unsur perasaan dari pada unsur rasio dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan dan pengaturan yang ada dalam organisasi.
4. Nilai merytal system. Merytal system merupakan sistem recrutmen pegawai yang tidak didasarkan pada hubungan kekerabatan, patrimonial (anak, keponakan, famili, alumni, daerah, golongan, dan lain-lain), akan tetapi didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, kemampuan dan pengalaman yang dimiliki oleh orang yang bersangkutan.
5. Nilai responsibel. Nilai ini berkaitan dengan pertanggungjawaban birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya.
6. Nilai akuntabilitas (accoutability). Nilai akuntabilitas berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Birokrasi yang baik adalah birokrasi publik yang penuh tanggungjawab.
7. Nilai responsivitas. Nilai ini berkaitan dengan daya tanggap terhadap keluhan, masalah, aspirasi publik. Birokrasi yang baik adalah birokrasi yang mempunyai daya tanggap yang tinggi dan cepat menanggapi apa yang menjadi keluhan, masalah, aspirasi publik.
Selain nilai-nilai etika di atas, kode etik juga bisa dijadikan sebagai pedoman bagi administrator publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Kode etik (Suyamto, 1989: 32-40) adalah suatu alat untuk menunjang suatu pencapaian tujuan suatu organisasi atau sub-organisasi atau bahkan kelompok-kelompok yang belum terikat dalam suatu organisasi. Pada dasarnya kode etik adalah suatu hukum etik. Hukum etik biasanya dibuat oleh suatu organisasi atau suatu kelompok, sebagai suatu patokan tentang sikap mental yang wajib dipatuhi oleh para anggotanya dalam menjalankan tugasnya.

Pelanggran Etika Administrasi Publik
Pelanggaran etika administrasi publik disebut juga mal administrasi. Mal administrasi merupakan suatu praktek yang menyimpang dari etika administrasi atau suatu praktek administrasi yang menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi (Widodo, 2001: 259). Kolusi, korupsi dan Nepotisme (KKN) merupakan salah satu bentuk mal administrasi yang banyak ditemukan di tubuh birokrasi dengan berbagai skala dan jenis, seperti penyuapan, ketidakjujuran, perilaku yang buruk, mengabaikan hukum dan lain sebagainya. Menurut Flippo (1983: 188) mal administrasi atau penyalahgunaan wewenang yang sering dilakukan oleh seorang pegawai negara dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai berikut:
1. Ketidakjujuran (dishonesty).
2. Perilaku yang buruk (unethical behaviour).
3. Konflik kepentingan.
4. Melanggar peraturan perundang-undangan.
5. Perlakuan yang tidak adil terhadap bawahan.
6. Pelanggaran terhadap prosedur.
7. Tidak menghormati kehendak pembuat peraturan perundangan.
8. Inefisiensi atau pemborosan.
9. Menutupi kesalahan.
10. Kegagalan mengambil prakarsa.
Selain itu, menurut Douglas (1953:61) mal-administrasi atau tindakan atau perilaku yang harus dihindari oleh pejabat publik adalah:
1. Ikut serta dalam transaksi bisnis pribadi atau perusahaan swasta untuk keuntungan pribadi dengan mengatasnamakan jabatan kedinasan;
2. Menerima segala hadiah dari pihak swasta pada saat melaksanakan transaksi untuk kepentingan kedinasan atau pemerintah;
3. Membicarakan masa depan peluang kerja di luar instansi pada saat berada dalam tugas sebagai pejabat pemerintah;
4. Membocorkan informasi komersial atau ekonomis yang bersifat rahasia kepada pihak-pihak yang tidak berhak;
5. Terlalu erat berurusan dengan orang-orang di luar instansi pemerintah yang dalam menjalankan bisnis pokoknya tergantung dari izin pemerintah.

Faktor Penyebab Terjadinya Pelangggaran Etika Administrasi Publik
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya pelanggaran terhadap etika administrasi publik. Menurut Widodo (2001: ), mal-administrasi publik disebabkan karena dua faktor sebagai berikut.
1. Faktor internal. Faktor internal berupa kepribadian seseorang. Faktor kepribadian ini berwujud niat, kemauan, dorongan yang tumbuh dari dalam diri seseorang yang melakukan tindakan mal administrasi. Faktor ini disebabkan karena lemahnya mental, dangkalnya agama dan keimanan seseorang. Selain itu faktor tersebut juga disebabkan faktor eksternal seperti kebutuhan keluarga, kesempatan, lingkungan kerja dan lemahnya pengawasan, dan lain sebagainya.
2. Faktor eksternal. Faktor ekternal adalah faktor yang berada di luar diri seorang yang melakukan tindakan mal administrasi seperti lemahnya peraturan, lemahnya lembaga kontrol, lingkungan kerja dan lain sebagainya yang membuka peluang untuk melakukan tindakan korupsi.
Selain kedua faktor tersebut, menurut Steinberg dan Austern (1999: 23-55; Ibrahim, 1990: 115) mal-administrasi terjadi karena disebabkan beberapa hal, yaitu:
1. Pelanggar etika menganggap tindakannya sebagai iktikad baik untuk menolong.
2. Kekurangpahaman akan kode etik, hukum dan kebijakan/program yang benar.
3. Sifat egois yang menganggap dirinya sudah benar dan memang menjadi wewenangnya.
4. Serakah dengan dalih penghasilan tidak cukup, sebagai balas jasa yang wajar atau memang menganut konsep aji mumpung.
5. Menganggap memang ada dalam kewenangan dan hak prerogatifnya.
6. Menganggap dalam kategori persahabatan yang diasumsikan sendiri, serta kepentingan ideologi/politik.
7. Karena kepentingan/desakan keluarga dan prestise pribadi.
8. “Pintu berputar” pasca penyelenggara yang bersangkutan dengan kelompoknya.
9. Berbagai tekanan/masalah keuangan.
10. Kebodohan, merasa ditipu (pura-pura tertipu).
11. Berdalih “memeras si pemeras”.
12. Perbuatannya dianggap sebagai tindakan yang wajar.
13. Berdalih ikut arus.
14. Berdalih hanya mengikuti perintah atasan (wajib setor ke atasan).
15. Berdalih untuk menjamin keselamatan.

Implementasi Etika Administrasi Publik sebagai Upaya Mengatasi Mal-Administrasi
Penyalahgunaan wewenang (mal-administrasi) yang sering dilakukan oleh administrator publik dalam menjalankan tugasnya berupa KKN dengan segala bentuknya seperti ketidakjujuran, perilaku yang buruk, konflik kepentingan, melanggar peraturan perundang-undangan, perlakuan yang tidak adil terhadap bawahan, pelanggaran terhadap prosedur, tidak menghormati kehendak pembuat peraturan perundangan, inefisiensi atau pemborosan, menutupi kesalahan dan kegagalan mengambil prakarsa (Flippo, 1983: 188). Hal tersebut dapat diatasi dengan mengimplementasikan etika administrasi publik secara baik dan konsisten. Dengan diwujudkannya etika administrasi publik yang baik dan memiliki budaya organisasi serta manajemen yang baik diharapkan dapat menumbuhkan budaya organisasi dan manajemen pemerintahan yang baik pula. Nilai etika administrasi publik yang dimaksud antara lain, efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, impersonal, merytal system, responsible, accountable, dan responsiveness (Widodo, 2001: ). Etika dan kode etik administrasi publik tersebut diharapkan menjadi pedoman bagi administrator publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya. Hal ini sesuai dengan fungsi etika administrasi publik sebagaimana disampaikan oleh Widodo (2001:252) yaitu:
1. Sebagai pedoman dan acuan bagi administrator publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya;
2. Etika administrasi publik (etika birokrasi) sebagai standar penilaian perilaku dan tindakan administrator publik.
Namun hal tersebut belum cukup untuk menjamin tidak terjadinya mal-administrasi dalam tubuh birokrasi. Terdapat hal yang lebih penting yaitu kontrol internal dari penyelenggara administrasi publik, dalam bentuk keimanan dan keagamaan yang melekat pada diri sesorang. Jika mereka meyakini bahwa perbuatan KKN tersebut dilarang oleh agama dan kelak akan dimintai pertanggungjawabannya dihadapan Allah SWT, maka mereka tidak akan melakukannya sekalipun kesempatan itu ada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa skala prioritas untuk mencegah terjadinya mal-administrasi publik seperti KKN adalah:
1. Perlu adanya kontrol internal yang kuat pada diri penyelenggara administrasi publik, yang dapat membentuk kepribadian yang dilandasi nilai keimanan dan keagamaan;
2. Mengimplementasikan etika administrasi publik;
3. Adanya kontrol eksternal dalam wujud adanya pengawasan, baik pengawasan politik, fungsional maupun pengawasan masyarakat.
Selain hal di atas, upaya lain yang bisa dilakukan untuk mengatasi mal-administrasi publik (Steinberg dan Austern, 1999: 23-55, Ibrahim, 2008: ) di antaranya sebagai berikut.
1. Mewujudkan good governance dan good coorporate governance
2. Laporan kekayaan penyelenggara negara (diumumkan dilembaran negara, diaudit, ditindaklanjuti, dilihat kelayakannya sebelum, sewaktu, sesudah menjabat, dan ditindak dengan sanksi yang sesuai)
3. Adanya hukum, undang-undang, kode etik yang meliputi antara lain: 1) Undang-Undang pemberantasan bentrokan kepentingan yang bersifat kriminal, yang melarang tindakan yang dapat dikenai hukuman kejahatan secara rinci; 2) Undang-Undang yang cakupannya lebih luas mengenai bentrokan kepentingan (standar perilaku yang dilanggar, sehingga ada ketentuan tindakan administratif, teguran, pemecatan, dan lain-lain; 3) keberanian “meniup peluit”; 4) pembatasan pasca ikatan kerja dan perilaku yang tidak/kurang etis; 5) standar hukum/kompetensi perilaku etis bagi pejabat hasil pemilihan; 6)perlunya kode etik penyelenggara negara dan stake holders lainnya dalam berbagai segmennnya (kode etik bagi supra dan infra struktur politik bila yang terakhir mungkin diatur)
4. Diwujudkannya dengan baik etika administrasi publik yang memiliki budaya organisasi dan manajemen yang baik yang meliputi pelatihan, pengauditan, penyelidikan dan pengendalian manajemen publik.

Penutup
Dari paparan di atas, dapat ditegaskan bahwa penyimpangan terhadap mal-administrasi seperti KKN dengan segala skala dan dimensi yang seringkali terjadi saat ini banyak sekali yang disoroti publik. Hal demikian dapat menggeroti rasa kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Oleh karena itu mengimplementasikan etika dalam administrasi publik menjadi suatu keharusan bagi setiap administrator publik. Karena etika berfungsi sebagai pedoman dan acuan bagi administrator publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, sekaligus sebagai standar penilaian perilaku dan tindakan administrator publik. Dengan diwujudkannya etika administrasi publik yang baik yang memiliki budaya organisasi dan manajemen yang baik diharapkan dapat menumbuhkan budaya organisasi dan manajemen pemerintahan yang baik pula.