Blog

Bertahan Hidup Hanya Dengan Produksi Satu Sangkar Burung

Salah satu hobi warga Jember adalah merawat burung. Melihat itu, Sunar yang awalnya bekerja serabutan, beralih menjadi perajin bambu. Dia pun menjadikan sangkar burung sebagai satu-satunya mata pencaharian untuk menghidupi keluarganya. NUR HARIRI-JUMAI, Dawuhan Mangli, Radar Jember Pagi itu, rumah sederhana milik Sunar masih tertutup. Begitu diketuk, Sunar yang muncul dari balik pintu terlihat sedang memegang potongan bambu seukuran lidi. Dirinya sedang bekerja membuat sangkar burung di rumahnya di Dusun Krajan, Dawuhan Mangli, Sukowono. Pria yang awalnya tak mengenakan pakaian itu kontan bergegas memakai kaus. Dia mengira, dua wartawan Jawa Pos Radar Jember datang untuk membeli kerajinan buatannya. Dia pun menunjukkan beberapa sangkar burung yang sudah dan belum selesai. “Ini masih dalam proses, belum diwarnai. Ini yang sudah selesai,” kata Sunar, yang selanjutnya mengajak masuk ke dalam rumahnya. Di dalam rumah Sunar, mulai dari ruang tamu sampai ke dapur, sesak dengan sangkar burung. Sangkar itu dibuatnya setiap hari hingga menumpuk. “Dalam satu hari, saya hanya mampu membuat satu sangkar. Itu pun lain dengan proses pewarnaan,” ucapnya. Sunar mengaku hanya melakukan pekerjaan itu di dalam rumah. Hal itu dijalani setelah bahan baku pembuatan sangkarnya lengkap. “Kalau bambu, kayu dan penjalin ada, saya terus bekerja. Kalau tidak, harus beli dulu,” ungkapnya. Proses pembuatan sangkar, menurut pria dua anak ini, tak begitu sulit. Hanya membutuhkan kesabaran saat melakukan pengeboran atau melubangi kayu dan bilah rotan. Selain itu, butuh kehati-hatian saat memotong bambu menjadikannya sebagai lidi. Selama membuat sangkar, tingkat kerumitan yang membutuhkan waktu lama yaitu membuat lubang. “Pemotongan bambu, itu juga harus pas dengan lubang. Kalau tidak, maka sangkarnya tidak jadi,” ucapnya. Setiap sangkar yang dibuat, menurutnya memiliki gaya dan model yang berbeda-beda. Itu disesuaikan dengan jenis burung. Ada sangkar untuk burung kicau, burung dara, serta beberapa jenis lainnya. Sementara, harga per sangkar dengan model yang berbeda itu nilainya juga lain-lain. Membuat sangkar burung, menurutnya telah digeluti sejak tahun 2000 lalu. Hal itu dilakukan karena tak ada pekerjaan lain untuknya. Dulu, Sunar sempat bekerja serabutan. Menjadi kuli hingga pekerja kasar. “Tahun 2000 saya mulai membuat sangkar burung, sampai sekarang ini,” ulasnya. Sunar yang duduk di samping istrinya menyebut, sehari dirinya hanya bisa menyelesaikan satu sangkar. Itu baru bisa dijual apabila sudah ada pengepul yang datang mengambil. Harga per sangkar hanya sekitar Rp 60 ribu. Dari hasil itulah, dirinya tetap bertahan hidup dengan kondisi ekonomi yang pas-pasan. Diakuinya, penghasilan Rp 60 ribu tidak didapat setiap hari. Terkadang dalam sepekan hanya terjual beberapa sangkar. “Alhamdulillah, di sini ada pengepul yang mengambil. Jadi, kami bisa terus produksi,” ungkapnya. Keberadaan burung yang menjadi hobi masyarakat luas, menurut Sunar, patut dipertahankan. Sebab, di kampungnya ada banyak warga yang juga menjadi pembuat sangkar burung. Dengan mereka yang hobi merawat burung, pekerjaan perajin sangkar akan tetap hidup. “Jenis burung itu banyak, jangan sampai merawat burung yang dilindungi,” ucapnya. Sebagai perajin, pria ini pun mengaku akan sangat mendukung apabila ada kontes-kontes burung. Selain bisa mengangkat harga burung, si pembuat sangkar pastinya akan bisa tetap memproduksi. “Kalau yang hobi burung semakin sedikit, kami juga akan kena imbas,” pungkasnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *