Blog

Hadis Dan Sunnah Dalam Perspektif Ignaz Goldziher

HADIS DAN SUNNAH DALAM PERSPEKTIF IGNAZ GOLDZIHER Hadis merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dipelajari, dan diteliti kebenarannya, karena hadis adalah sumber kedua yang berfungsi sebagai bayân yakni menjelaskan ayat-ayat al-Qur’an yang masih global, sebagaimana disebutkan oleh Hasbi al-Shidiqiy dengan mengutip pendapat Imam Malik, bahwa hadis mempunyai empat fungsi utama yang menghubungkan dengan al-Qur’an yaitu, berfungsi sebagai Bayân al-Taqrîr yang menetapkan dan mengokohkan hukum-hukum al-Qur’an, bayân al-Taudhîh yang menjelaskan dan menerangkan maksud-maksud dari ayat al-Qur’an, bayân al-Tafshîl yang menjelaskan ayat yang masih mujmal dan bayân al-Basthy (Tabsîthdan Ta’wîl) yakni memanjangkan keterangan yang masih ringkas dalam al-Qur’an.[1]Sedemikian sentralnya hadis, sehingga banyak dari kalangan para ulama yang mengkaji dan meneliti kualitas hadis baik dari segi matan maupun dari segi sanad, dengan melakukan penelitian terhadap seluruh hadis baik yang termuat dalam berbagai kitab hadis maupun non-hadis.[2]Kajian hadis tidak hanya dipelajari dalam ruang lingkup Islam saja, akan tetapi kalangan Barat-pun ikut berpartisipasi dalam menggali dan mengkaji tentang hadis. Berbagai perspektif muncul dari kalangan para fuqaha atau kalangan ahli hadis tentang pendefinisan hadis, dan sunnah. Bahkan kalangan orientalis pun mencoba melakukan interpretasi dan membedakan antara hadis dan sunnah.Kalangan orientalis yang mulai melakukan gugatan terhadap hadis pada pertengahan abad ke-19 M adalah oleh Alois Sprenger, dia orang pertama kali yang mempersoalkan status hadis dalam Islam. Dalam pendahuluan bukunya mengenai riwayat hidup dan ajaran Nabi Muhammad SAW, misionaris asal Jerman yang pernah tinggal lama di India ini mengklaim bahwa hadis merupakan kumpulan anekdot (cerita-cerita bohong tapi menarik).[3] Klaim ini diamini oleh rekan satu misinya William Muir. Menurutnya dalam literatur hadis, nama Nabi Muhammad SAW sengaja dicatat untuk menutupi berbagai macam kebohongan.[4] Serangan terhadap hadis itu mencapai puncaknya setelah Ignaz Goldziher menulis Muslim Studies Muhammedanische Studien yang dipandang sebagai kritikan paling penting terhadap hadis di abad ke-19.[5] Kurang lebih enam puluh tahun sesudah terbitnya buku Goldziher tersebut. Joseph Schacht yang juga Orientalis Yahudi menerbitkan hasil penelitiannya tentang hadis dalam sebuah buku yang berjudul ”The Origins of Muhammadan Jurisprudence”.[6]Ignaz Goldziher kemudian memberikan sebuah interpretasi dan membedakan antara hadis dan sunnah, yang di kalangan ulama juga berbeda pendapat. Untuk melihat lebih detail bagaimana pemikiran Goldziher tentang hadis dan sunnah. Maka kajian ini difokuskan pada term tersebut, sehingga menjadi terarah. Adapunsetting pembahasannya adalah dengan melihat biografinya, pandangan pemikirannya terkait pembedaan hadis dan sunnah, implikasi pemikirannya, dan dilanjutkan dengan kesimpulan. B. Biografi Ignaz Goldziher Ignaz Goldziher yang banyak disebut Goldziher adalah seorang orientalis Hongaria yang lahir di Szekesfehervar pada tahun 1850 M, dan termasuk keturunan dari keluarga Yahudi. Nenek moyangnya adalah tukang emas di Hamburg pada abad ke-16, ayahnya tinggal di Kopeseny, kemudian pindah ke Szekesfehervar. Goldziher telah menunjukan mutu intelektual yang tinggi sejak dia masih muda. Dalam usia duabelas tahun, dia sudah bisa menulis suatu risalah mengenai asal-usul dan waktu yang tepat untuk sembahyang orang-orang Yahudi yang disebut Piyyuts. Pada usia enambelas tahun, dia mengikuti kuliah Arminius Vanbeery di Universitas Budapest. Dua tahun kemudian, ia berhasil dari ujiannya di Calvinist Liceum Budapest. Dengan beasiswa dari negaranya, dia dikirim ke Jerman untuk belajar dengan Prof. Rodiger di Berlin tahun 1968, H.L, dan Fielscher dan G. Ebers di Leipzig pada tahun yang sama. Di bawah bimbingan Rodeger dia berhasil memperoleh gelar Doktor dalam usia 19 tahun.[7]Setelah mempelajari manuskrip-manuskrip di Wina, pada tahun 1871 ia diangkat menjadi dosen privat di Budapest. Kemudian menjadi lektor pada tahun M pada mata kuliah bahasa Hebrew (Ibrani) pada Callxinist Theological Faculty di Budapest. Kemudian ia melakukan perjalanan ke dunia timur dari bulan September tahun atas biaya pemerintah Hongaria untuk belajar di Universitas al-Azhar, Kairo, Syiria, dan Palestina. Pada tahun 1894, dia menjadi calon tenaga pengajar bahasa semit dan pada tahun 1904 menjadi guru besar bahasa-bahasa semit di Universitas Budapest sampai akhirnya ia meninggal pada tanggal 13 November 1921. Dia juga pernah mengajar filsafat Yahudi di Jewish Seminary Budapest tahun 1900.[8] Di luar negeri, dia menjadi anggota kehormatan dari akademi-akademi, delapan perkumpulan orientalis, tiga perkumpulan sarjana di luar negeri dan ikut pula sebagai anggota di Royal Asiatic Society, Asiatic Society of Bengal, The British Academy dan The American Oriental Society. Pada tahun 1904 ia dianugerahi gelar Doktor dalam bidang kesusastraan oleh Universitas Cambrig, dan gelar LL.L dari Universitas Aberdeen Skotlandia. Sepanjang hidupnya ia tidak meninggalkan menulis sebuah karya Ilmiah yang membahas masalah-masalah keislaman dan banyak dipublisir dalam bahasa Jerman, Inggris dan Prancis. Bahkan sebagian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab. Sebagian yang paling berpengaruh di antara karya-karya tulisnya adalah buku Muhammadaniche Studien, di mana ia menjadi sumber rujukan utama dalam penelitian hadis di Barat.[9] Adapun karya-karya lain yang ia tulis adalah Die Zahiritin lhr Lhrsystem und Geschicte (Leipzig 1884), yang membahas perkembangan sejarah aliran Zahiri, Muhammedanische Studien tentang sejarah agama Islam secara umum dan khususnya tentang hadis, Vorlesungen den Islam, Heideberg (1910), yang membahas pengantar untuk memahami teologi dan hukum Islam, dan Die Richtungen Der Islamichen Koran Auslegung (Leiden 1920), yang isinya hampir sama dengan pengantar teologi dan hukum Islam, dan karya lainnya yang hanya merupakan penjelasan lebih lanjut dari karya-karya tersebut di atas. Karya-karya tersebut adalah Methology Among The Hebrews And Its Historical Development, On The History of Grammar Among The Arabs, Zahiris: Their Doctrine and Their History, a Contribution diterbitkan pada tahun 1884, Short History of Classical Arabic Literature, Le Dogme et Les Lois de L’Islam (The Principle of Law is Islam), Etudes Sur La Tradition Islamique. C. Pemikiran Ignaz Goldziher Diskursus masalah hadis dan sunnah menjadi polemik tersendiri di kalangan para ulama hadis, dan menjadi perdebatan yang luar biasa. Interpretasi pemaknaan hadis merupakan suatu hal yang sangat urgen, karena berimplikasi pada otentisitas sebuah hadis. Hal ini juga memicu Ignaz Goldziher untuk menyodorkan pandangannya terkait perbedaan hadis dan sunnah. Goldziher menguraikan makna hadis secara terminologis yang ia sebut sebagai sebuah kisah, dan komunikasi, yang tidak hanya berlaku di antara orang-orang yang menyebut kehidupan agama sebagai hadis, tetapi yang dimaksud adalah informasi historis, baik itu yang bersifat sekularatau keagamaan, masa waktu yang telah lalu atau pun pada masa tertentu.[10]Selanjutnya ia menjelaskan bahwa pada konteks sebuah legenda dan dongeng, kata hadis juga diaplikasikan untuk subjek sebuah cerita. Oleh sebab itu pernyataan “menjadi suatu hadis” adalah menjadi contoh yang akan selalu diceritakan oleh generasi kemudian, dan yang akan menjadi mashal bagi anak cucu.[11]Pada definisi awal ini terlihat bahwa dia nampak ingin memperluas wilayah komunikasi dan cakupan hadis atau mengembalikan makna itu pada istilah yang diungkapkan oleh al-Ghazali yaitu ma’na wadl’iyyah-nya.[12]Ia tidak ingin terlebih dahulu menghubungkannya dengan aspek keagamaan yang walaupun akhirnya pada konteks keislaman disandingkan pada aspek ini. Dalam hal ini dia seolah ingin mencari akar kata hadis sendiri yang sudah terlembagakan oleh suatu aspek, yaitu keagamaan. Maka tak salah jika Goldziher mengatakan bahwa hadis sudah mengalami pergeseran konteks makna kata.[13]Menurutnya kata ini adalah istilah yang biasa dipakai pada periode awal Islam untuk memperkenalkan sebuah inovasi yang tidak didasari kebiasaan masa lalu, yaitu masa patriarkhi.[14]Dia menyandarkan pendapat ini pada riwayat ‘Aisyah, bahwa Rasulullah saw bersabda, “Man ahdatsa fi amrina hadza ma laysa minhu fahuwa riddun”.[15]Maka dia pun menganggap bahwa pernyataan Syarr al-Umur Muhdatsatuha adalah merupakan sebuah inovasi atau dengan kata lain bid’ah yang memang dilarang dalam koridor Islam. Pernyataan ini dipertegas oleh Goldziher bahwa sinonim dari kata al-Bid’ah adalah muhdats atau hadats[16],yang menurutnya para ulama Islam memahaminya sebagai sesuatu yang dipraktekan yang tidak mempunyai relevansi dengan zaman dulu, yang dalam agama, dimaksudkan sebagai perilaku yang tidak dilakukan pada masa nabi– selama inovasi itu tidak memiliki dasar keagamaan.[17]Dalam hal ini Goldziher melakukan suatu perbedaan yang jelas, yaitu bagaimana ia membedakan kata hadis yang berasal dari kata hadatsa (fi’iltsulats al-Mujarrad: tiga huruf asli tanpa tambahan) dengan kata yang merupakan keturunan dari kata ahdatsa (fi’il tsulats al-Mazid: tiga huruf yang mendapat tambahan satu huruf). Hal ini sebenarnya bukan hal yang baru dan telah terjadi dalam diskursus wacana Islam, namun hanya sebagai fakta bahwa ternyata kata muhdats itu mempunyai arti yang saling bertolak belakang dengan sunnah secara definitif. Padahal kata hadis itu dalam pandangan ulama Islam disamakan dengan sunnah. Artinya bahwa kata hadis disatu sisi ditarik pada ‘urf isti’mal yang positif dan muhdats atau ahdatsapada wilayah yang negatif. Pendapat Goldziher tentang hadis hamper sama dengan apa yang dikatakan oleh M. A’zami dari aspek etimologinya yaitu, bahwa hadis berarti komunikasi, kisah, percakapan, religius atau sekular dan atau kontemporer. Namun bukan berarti sebuah dongeng sebagaimana yang dikatakan Ignaz Goldziher. Beliau menyimpulkan kata hadis tersebut sebagaimana yang digunakan dalam al-Qur’an sebagai bentuk kata sifat dan ucapan Nabi saw. Sebagaimana disebutkan dalam Shahih al-Bukhari yaitu, “Barang siapa yang mendengarkan hadis (perkataan) suatu kaum padahal mereka tak mau mendengarkannya dan hendak menghindarinya, akan dituangkan ke dalam kupingnya di hari kiamat sebuah cairan tembaga yang mendidih.”[18]Namun dalam perkembangannya Ignaz berpandangan bahwa hadis disamakan dengan bid’ah karena hadis adalah muhdatsyang memiliki makna sesuatu yang baru.Lain halnya dengan ungkapan Muhammad Ajaj al-Khatib, bahwa hadis secara etimologi al-jadid yang berarti perkara-perkara baru, dan juga bermakna berita baik sedikit ataupun banyak. Sehingga dalam arti terminologinya hadis menurut para Muhaditsin sama dengan sunnah, dan makna keduanya segala apa yang bersumber dari Nabi saw, baik sebelum diangkat menjadi Nabi atau setelahnya. Akan tetapi jika lafadz hadis dimaknai secara umum, maka maknanya apa yang diriwayatkan dari rasulullah SAW setelah kenabian, baik perkataan, perbuatan, maupun taqrir.[19]Pandangan yang seperti jelas bertentangan dengan apa yang diungkapkan oleh Ignaz sebagaimana di atas. Karena dia mengambil hadis bukan berasal dari kata aslinya yakni hadatsa, namun dia lebih menekankan kepada lafadz ahdatsayang dimakna sebagai sesuatu yang baru. Sehingga siapa saja yang melakukan sesuatu yang baru jelas tertolak. Karena hadis merupakan sesuatu yang baru dan produk Nabi Muhammad maka tidak bisa digunakan sebagai sumber hukum Islam. Sunnah berasal dari kata “Sanna-yasunnu-sannan wa sunnatan” yang berarti al-Thariqah dan al-Shirah yakni jalan dan perjalanan. Sedangkan secara umum menurut syara adalah apa yang diperintahkan, dilarang dan dianjurkan oleh Nabi saw baik berupa perkataan dan perbuatan, termasuk sesuatu yang belum disebutkan dalam al-Qur’an. Maka oleh karena itu di dalam dalil syara’ al-kitâb dan al-sunnah bermakna al-Qur’an dan hadis.[20]Menurut Yusuf Qardhawi sunnah merupakan suatu pensyari’atan yang bersifat khusus dan umum. Dalam hal ini dia membagi sunnah ke dalam tiga bagian yakni Pertama, sunah adalah sesuatu yang bersumber dari rasulullah saw dilihat dari aspek penyampaian sebagai seorang rasul, sebagaimana ia menjelaskan sesuatu yang masih global dalam al-Qur’an, mentakhsis yang umum, membatasi yang mutlak, dan menjelaskan masalah peribadatan, halal dan haram, aqidah dan akhlak, dan lain-lain yang berkaitan dengannya. Sunnah yang seperti ini bersifat umum sampai hari kiamat, maka jika Nabi melarang sesuatu, setiap manusia harus berusaha menjauhinya.[21] Kedua sunnah adalah sesuatu yang bersumber dari rasul yang berkaitan dengan kepemimpinan dan strategi umum yang berlaku bagi semua kaum muslimin. Ketiga sunnah juga adalah sesuatu yang berasal dari rasul yang berkaitan dengan sifat kehakiman, sebagai contoh, beliau (Nabi) sebagai seorang rasul yang menyampaikan hukum-hukum dari Allah, dan pemimpin bagi seluruh kaum muslimin, dan mengatur keadaan dan strategi mereka (kaum muslimin). Maka dalam hal ini posisi rasul adalah sebagai seorang hakim yang menjelaskan tuduhan-tuduhan dengan bukti-bukti, sumpah dan janji yang kuat.[22]Ignaz Goldziher mendefinisikan sunnah secara terminologi dengan melihat dari aspek historis. Dia memahami konsep sunnah berasal pengaruh dasar wilayah kehidupan invidual dan komunitas masyarakat arab pada masa lampau, yang ketika Islam datang sunnah mencakup tata cara kehidupan masyarakat yang berhubungan dengan kehidupan agama Islam.[23]Akan tetapi Goldziher mengatakan, bahwa umat Islam telah melakukan penambahan cakupan sunnah yang tidak didasarkan pada sebuah kebutuhan yang hanya ada pada masa paganis (Arab Jahilliyah). Di kalangan umat Islam, sunnah merupakan segala sesuatu yang menerangkan tentang tradisi-tradisi, adat dan kebiasaan orang Arab dari para pendahulunya, yang akhirnya kata ini masih dipakai oleh komunitas Arab.[24]Jadi menurut dia sunnah tersebut tidak bisa dipisahkan dengan kebiasaan-kebiasaan orang Arab Jahiliyah pada masa yang lalu. Sehingga sunnah dimaknai sebagai perilaku-perilaku orang terdahulu yang bertentangan dengan perkataan Nabi saw. Goldziher mencoba melihat definisi sunnah dari kacamata para sahabat,[25] yang menurut mereka sunnah adalah segala sesuatu yang ditunjukan dan dipraktekan pada masa Nabi dan para sahabat awal. Mereka pun mengatakan bahwa ketaatan kepada sunnah bagi Umat Islam sama halnya dengan orang paganis Arab yang mengikuti sunnah para pendahulunya.[26] Maka pada intinya bahwa konsep sunnah dalam Islam merupakan sebuah pengulangan atau imitasi dari pandangan Arab kuno. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Musthafa A’zami bahwa Goldziher menyebut sunnah dengan istilah istilah animis, jahiliyyah, yang kemudian dipakai oleh orang-orang Islam.[27]Jika dilihat secara historis menurut Goldziher, Madinah menjadi kota paling pertama yang menjaga hadis, sehingga muncullah istilah Dar al-Sunnah. Kota inilah yang membela sunnah Nabi sekaligus melarang sebuah pembaharuan. Alasan lain mengapa istilah tersebut melekat pada kota ini tiada lain – menurut Goldziher adalah karena di kota inilah sunnah diregulasikan secara formal.[28] Pada perkembangannya, saat sunnah diabaikan hampir di seluruh dunia, kota Madinah menjadi penjaga utama dalam menjaga sunnah.[29]D. Perbedaan Hadis dan Sunnah Ignaz Goldziher membedakan antara hadis dan sunnah. Perbedaan ini juga terjadi di kalangan umat Islam yang juga membedakan antara hadis dan sunnah. Salah satu ulama hadis ternama Subhi al-Shalih mengatakan, bahwa hadis dan sunnah pada dasarnya memiliki perbedaan yang signifikan, dengan mengikuti arti bahasanya. Sunnah adalah jalan keagamaan yang ditempuh oleh Nabi saw yang tercermin dalam perilaku yang suci. Apabila hadis bersifat umum yang meliputi sabda dan perbuatan Nabi, maka sunnah bersifat khusus berhubungan dengan perbuatan-perbuatan beliau.[30]Dalam pandangan Goldziher, perbedaan hadis dan sunnah juga tetap dipertahankan. Ia menyatakan bahwa hadis bermakna suatu disiplin ilmu teoritis dan sunnah adalah compendium atau aturan-aturan praksis. Satu-satunya kesamaan sifat antara keduanya adalah bahwa keduanya berakar secara turun-temurun. Dia menyatakan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang muncul dalam ibadah dan hukum, yang diakui sebagai tata cara kaum muslim, pertama yang dipandang berwenang dan telah pula dipraktikan dinamakan sunnah atau adat/kebiasaan keagamaan. Adapun bentuk yang memberikan pernyataan tata cara itu disebut hadis atau tradisi.[31]Dalam kesempatan lain, Goldziher menyatakan perbedaan sunnah dan hadis bukan saja dari makna dua istilah itu sendiri, tetapi melebar juga pada adanya pertentangan dalam materi hadis dan sunnah. Dia mengatakan bahwa memang betul pengertian sunnah dan hadis dibedakan satu sama lain. Hadis berciri berita lisan yang bersumber dari Nabi, sedangkan sunah menurut penggunaan yang lazim di kalangan umat Islam kuno, menunjuk pada permasalahan hukum atau hal keagamaan, tidak masalah apakah ada atau tidak berita lisan tentangnya. Suatu kaidah yang terkandung di dalam hadis lazimnya dipandang sebagai sunnah, tetapi tidak berarti bahwa sunnah harus berkesesuaian dan memberikan pengukuhan kepadanya (hadis), bahkan mungkin justru terjadi sebaliknya, bahwa isi sebuah hadis justru bertentangan dengan sunnah.[32]Di sinilah perbedaan yang paling fundamental antara sunnah dan hadis yang disodorkan Goldziher. Hal ini kemudian menjadi kerangka dasar pandangan Goldziher tentang otentisitas hadis.Konsep Sunnah yang disodorkan oleh Goldziher adalah konsep yang berarti adat kebiasaan ataupun perilaku keagamaan yang muncul pada dua abad awal perkembangan Islam. Selanjutnya dia menegaskan bahwa kedudukan sunnah yang begitu berpengaruh dalam dunia Islam, tidaklah dipahami karena ia diperkuat oleh keabsahan atau otentisitas hadis yang disandarkan kepada Nabi Saw, tetapi lebih kepada sifat yang dimiliki sunnah yaitu selain sebagai catatan atau fakta historis dari tradisi bangsa-bangsa Arab, juga kenormatifannya bagi generasi-generasi sesudahnya. Sebelumnya Goldziher menyatakan bahwa sunnah pada awalnya telah dipakai oleh orang-orang Arab Jahiliyah yang memuliakan sunnah nenek moyang mereka. Bagi Goldziher, konsep Islam tentang sunnah adalah sebuah revisi atas adat istiadat yang terjadi saat itu, walaupun tidak menguatkan dalam arti keseluruhan.[33]Karena sifatnya sebagai revisi tersebut, al-Syakhil Khail Yasien menyimpulkan bahwa Goldziher menganggap, apa yang disebarkan oleh Nabi Muhammad bukanlah merupakan agama baru.[34]Dalam hal ini Goldziher menggambarkannya secara langsung: “Bukan saja hukum dan adat kebiasaan, tetapi doktrin politik dan teologi pun mengambil bentuknya dalam hadis, apa saja yang dihasilkan Islam sendiri ataupun yang dipinjam dari luar diberi wadah dalam hadis. bagian-bagian dari perjanjian lama dan Baru, kata-kata dari Rabi, kutipan Injil, doktrin-doktrin Yunani, bahkan doa kami pun ada. Untuk semua itu pintu dibuka oleh Islam dan tampil kembali sebagai ucapan-ucapan Nabi.” Dari Kutipan di atas, jelaslah bahwa bagi Goldziher, hadis-hadis tidak memiliki kemurnian sama sekali, walaupun tetap memiliki kedudukan kuat sebagai sumber ajaran Islam. Abdurrahman Wahid dalam sebuah tulisan juga mengatakan bahwa hadis sebagai ungkapan yang berasal dari Nabi SAW. tidak dapat diterima secara ilmiah, karena sulitnya mencari hadis mana di antara sekian ratus ribu hadis yang benar-benar berasal dari masa kehidupan Nabi SAW. Yang diterima menurutnya bahwa hadis sebagai sunnah dalam pengertian bahasa belaka, yaitu jalan hidup yang harus dilalui seseorang atau sekelompok manusia.[35]E. Implikasi Pemikiran Ignaz Goldziher Pengaruh orientalis Goldziher sangat sangat cepat meluas, baik pada kalangan muslim atau pun non muslim, sebagaimana dikatakan oleh Ali Mustafa Ya’qub dalam bukunya “Kritik Hadis”. Menurutnya, bahwa pemikiran orientalis Yahudi Ignaz Goldziher ini berpengaruh luas. Bukan hanya dikalangan orientalis saja, melainkan juga dikalangan pemikir muslim. Dalam hal ini sebut saja misalnya, Ahmad Amin yaitu seorang pemikir muslim kenamaan dari Mesir dalam bukunya Fajr al-Islam banyak terkecoh oleh teori-teori Goldziher dalam mengkritik hadis.[36]Ahmad Amin berpendapat bahwa awal mula terjadinya pemalsuan hadits sudah ada pada masa Rasulullah SAW masih hidup.[37] Amin berargumentasi dengan hadits yang berbunyi:وَحَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ الْغُبَرِىُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ أَبِى حَصِينٍ عَنْ أَبِى صَالِحٍ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (رواه مسلم) “Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ubaid al-Ghubariy, telah menceritakan kepada kami Abu Awanah dari Abi Hasin dari Abi Shalih dari Abi Hurairah ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berdusta atas aku (atas namaku), maka hendaklah ia bersiap-siap menempati tempat duduk di neraka.”[38]Menurut Ahmad Amin, diriwayatkannya hadits tersebut, besar dugaan bahwa sudah terjadi pemalsuan hadis pada masa Rasulullah, atau dengan kata lain bahwaasbab al-wurud hadits tersebut merupakan peristiwa pemalsuan hadis yang terjadi pada masa Rasulullah. Pandangan tersebut didukung oleh beberapa alasan yang dikemukakannya yaitu: Pertama, karena hadits pada masa pertama belum dibukukan dalam kitab tersendiri. Kedua, hanya mencukupkan dengan riwayat yang hanya didasarkan pada ingatan. Ketiga, karena sukar menghimpun segala yang telah dikatakan dan dikerjakan oleh Rasul selama 23 tahun. Ketiga alasan tersebut, yang akhirnya Ahmad Amin menyimpulkan ada golongan yang memberanikan diri meletakkan hadis-hadis yang disandarkan kepada Rasul dengan jalan dusta.[39]Begitu pula Mahmud Abu Rayyah, juga berasal dari Mesir dalam bukunya “Adhwa ‘ala Sunnah al-Muhammadiyah” ia juga banyak mengikuti metoda-metoda Goldziher. Bahkan Abu Rayyah lebih sadis dalam membantai ahli-ahli hadis dibanding Ahmad Amin, ia juga menuduh Abu Hurairah tidak ikhlas masuk Islam dan tidak percaya kepada ucapan Nabi SAW, terlalu mengurus perut dan hartanya, dan Abu Hurairah lebih banyak membela Bani Umayah.[40]Tidak kalah menariknya adalah seorang ulama kontemporer, Syaikh Muhammad al-Ghazali, baik dalam bukunya al-Sunnah al-Nabawiyah baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits, maupun dalam diskusi-diskusi yang diadakan di Kairo dan lain-lain. Beliau banyak melakukan kritik hadis dengan prinsip-prinsip yang dipakai oleh kalangan orientalis seperti Ignaz Goldziher, meskipun tidak dapat dikatakan bahwa beliau terkecoh seratus prosen dengan teori-teori orientalis.Pemikiran al-Ghazali tersebut adalah tentang shalat Tahiyat al-Masjid. Ia menganggap sebab Imam al-Ahnaf dan para Pengikut Imam Maliki tidak suka orang melaksanakan Tahiyat al-Masjid pada saat Iman sedang berkhutbah meskipun ada hadis yang menyebutkan tentang Tahiyat al-Masjid. Menurutnya bahwa Khutbah Jum’at dilaksanakan sebelum hijrah Nabi SAW sedangkan orang-orang muslim melaksanakan shalat jama’ah di belakang Nabi SAW pada tahun ke 10 H. Artinya di sana dijumpai lima ratus khutbah dari unsur ini. Sesungguhnya para ahli hadis pada saat itu selalu mencatatan suatu kata-katanya, fatwa khusus, dan menjawab pertanyaan, lalu bagaimana mereka bisa meninggalkan khutbah?. Dalam hal ini mereka tidak mungkin melakukan sesuatu yang lain selain mendengarkan apa yang diucapkan Nabi SAW. Mereka mendokumentasikan semua sebagian khutbah-khutbah yang belum sempat dicatat.[41]Menurutnya dalam konteks ini, Nabi SAW berkhutbah di depan orang-orang dengan membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan semua orang diam dan mentadaburinya. Maka mustahil orang menyibukan dirinya dengan bacaan dan shalat. Sebagaimana firman Allah SWT: وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ (204) “Dan apabila dibacakan al-Qur’an maka dengarkanlah dan diamlah mudah-mudahan kalian dirahmati”. Sesunguhnya Tuhan semesta alam memperdengarkan Nabi-Nya pada saat membaca al-Qur’an sebagaimana disebutkan dalam hadis yang mulya: “Bahwa Allah tidak membolehkan makhluknya melakukan sesuatu pada saat Nabi melantunkan al-Qur’an. Dengan demikian bagaimana mungkin orang-orang menyibukan dengan melakukan sesuatu?. Sunnah dianjurkan mendengar khutbah. Sedangkan hadis tentang perintah tahiyat al-Masjid hanya merupakan keadaan khusus bagi seseorang yang telah disebutkan. Sunnah amaliyah melarang berbicara dan shalat pada pertengahan khutbah. Bahkan Imam Malik membatalkan shalatnya. Apa dilakukan oleh Imam Malik dianggap sebagai kebiasaan sunah yang telah tetap.[42]Setelah melihat pemikiran al-Ghazali tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pemahaman Imam al-Ghazali yang tidak membolehkan seseorang melakukan Tahiyat al-Masjid tidak dipengaruhi oleh pemikiran Ignaz Goldziher. Namun mungkin saja ada bagi orang yang beranggapan sebaliknya. Karena dalam bukunya Al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Hadits tidak ditemukan referensi yang dipakai oleh Al-Ghazali terkait dengan pemikirannya. Sehingga ini adalah pemikirannya semata tidak ada kaitan dengan pemikiran Ignaz Goldziher. Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ignaz Goldziher adalah seorang orientalis yang berasal dari Hongaria yang lahir di Szekesfehervar pada tahun 1850 M, ia termasuk keturunan dari keluarga Yahudi. Ignaz Goldziher membedakan antara hadis dan sunnah, dan dia mengatakan bahwa sunnah dipandang sebagai sebuah revisi atas adat istiadat yang terjadi saat itu, walaupun tidak menguatkan dalam arti keseluruhan, sedangkan hadis menurutnya merupakan hasil perkembangan Islam dalam bidang agama, politik, dan sosial dalam kurun waktu dua abad, yaitu abad pertama dan kedua. Hadis bukanlah merupakan dokumen Islam pada masa-masa awal pertumbuhannya, melainkan merupakan produk Nabi Muhammad yang baru maka sesuatu yang baru tidak bisa tertolak dan tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum Islam dan salah satu efek kekuasaan Islam pada saat kejayaannya. Arif, Syamsuddin, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gema Insani, 2008. Arifin, Tajul, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadis And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, Bandung: Inaugural Speech, 2009. Amin, Kamaruddin,Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta: Hikmah, 2009. ‘Ajaj, Muhammad al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuhu wa Mushthalahuhu, Beirut: Dar al-Fikr, 2008. Al-Qardhawi Yusuf, Al-Sunnah Mashdaran li Ma’rifah wa al-Hadharah, Kairo: Dar al-Syuruq, 1997. Al-Ghazali,al-Mustashfa, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010. Ahmad Amin, Fajr al-Islam, Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1969. Al-Qusyairiy Muslim bin Al-Hajaj Abu Husain, al-Naisaburi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Bab Taghlidz al-Kadzib ‘ala Rasulillah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, Kairo: Al-Mishriyah, 1929. Al-Ghazali, Muhammad, Al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Hadits, Beirut: Dar al-Syuruq, Tt. Darmalaksana, Wahyudin, Hadis dimata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht, Bandung: Benang Merah Press, 2004. Eliade, Mircea (ed.), The Encyclopedia of Religion, New York: Macmilan Publishing Comapany, 1993 Goldziher, Ignaz,Muslim Studies, London: George Alen dan Unwin Ltd, 1971. ­­­­________, An Introduction to Islamic Theology and Law, Jakarta: INIS, 1991. Hasbi, Muhammad ash-Shididdy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010. Hamid, Muhammad al-Nashir, Modernisasi Islam: Menjawab Pemikiran Jamaluddin al-Afghani hingga Islam Islam Liberal,terj. Abu Umar Basyir Jakarta: Darul Haq, 2004. Mustafa, M. A’zami, Memahami Ilmu Hadis: Tela’ah Metodologi dan Literatur Hadis, Jakarta: Lentera, 2003. ­­­_______, Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih, Beirut: al-Maktabah Islami, 1992. Mandzur, Ibnu, Lisan al-Arab, Kairo: Dar al-Hadits, 2003. Mustafa, Ali Yaqub, Kriitik Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011. Khalil, Al-Syakhi Yasien, Muhammad ‘inda al-‘Ilma al-Gharib, Jakarta: Gema Insani Press, 1989. Syuhudi, M. Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi, Jakarta: Bulan Bintang, 2007. Shalih, Shubhi,Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013. [1] Muhammad Hasbi ash-Shididdy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2010), hlm. .[2] M. Syuhudi Ismail, Metodologi Penelitian Hadis Nabi (Jakarta: Bulan Bintang, 2007), hlm. 27.[3] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran (Jakarta: Gema Insani, 2008), hlm. 28.[4] Syamsuddin Arif, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran…, hlm. 28.[5] Tajul Arifin, The Application Of “Unity Theory” In Understanding Matan Of Al-Hadis And Determining Its Validity, Critique to the Critique of Orientalis, (Bandung: Inaugural Speech, 2009), hlm.11.[6] Wahyudin Darmalaksana, Hadis dimata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 11[7] Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion (New York: Macmilan Publishing Comapany, 1993) Vol. V dan VI, hlm. 74. Sebagaimana dikutip oleh Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis; Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht…, hlm. 91.[8] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis; Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schacht,…hlm. 92.[9] Ali Mustafa Yaqub, Kriitik Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011), hlm. 14.[10] Ignaz Goldziher,Muslim Studies (London: George Alen dan Unwin Ltd, 1971)hlm. 18. [11] Ignaz Goldziher,Muslim Studies, hlm. 18. [12] Al-Ghazali, al-Mustashfa (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2010), hlm. 290.[13] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 18.[14] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 28.[15] Ignaz Goldziher pun menggunakan riwayat lain, man ‘amila amalan laysa alayhi amruna fahuwa riddun. [16] Ignaz Goldziher,Muslim Studies, hlm. 34. [17] Ignaz Goldziher,Muslim Studies, hlm. 34. [18] M. Mustafa Azami, Memahami Ilmu Hadis: Tela’ah Metodologi dan Literatur Hadis (Jakarta: Lentera, 2003), hlm. 21-23. Lihat Shahih al-Bukhari, Ta’bir, hlm. 45.[19] Muhammad ‘Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits: Ulumuhu wa Mushthalahuhu (Beirut: Dar al-Fikr, 2008). Hlm. 19.[20] Ibnu Mandzur, Lisan al-Arab (Kairo: Dar al-Hadits, 2003), hlm. 717.[21] Yusuf al-Qardhawi, Al-Sunnah Mashdaran li Ma’rifah wa al-Hadharah(Kairo: Dar al-Syuruq, 1997), 40.[22] Yusuf al-Qardhawi, Al-Sunnah Mashdaran li Ma’rifah wa al-Hadharah, hlm. 41. [23] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 25.[24] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 25.[25] Sahabat menurut Goldziher adalah – mengutip pernyataan al-Bukhari- adalah orang Islam yang telah menemani Nabi atau telah melihatnya dapat digolongkan sebagai sahabat. Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, hlm. 66[26] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.[27] Musthafa al-A’zami,Dirasat fi al-Hadits al-Nabawi wa Tarikh Tadwinih (Beirut: al-Maktabah Islami, 1992), hlm. 6.[28] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26. Lihat juga Shubhi Shalih, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hlm. 24. [29] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 26.[30] Subhi al-Shalih, Membahas Ilmu-ilmu Hadis(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2013), hlm. 23.[31] Ignaz Goldziher, An Introduction to Islamic Theology and Law (Jakarta: INIS, 1991), hlm. 35.[32] Ignaz Goldziher, Muslim Studies, hlm. 24.[33] Ignaz Goldziher, Muslim Studies…, hlm. 25.[34] Al-Syakhi Khalil Yasien,Muhammad ‘inda al-‘Ilma al-Gharib, (Jakarta: Gema Insani Press, 1989), hlm. 215.[35] Wahyudin Darmalaksana, Hadis Di mata Orientalis: Telaah atas Pandangan Ignaz Goldziher dan Joseph Schachts…, hlm. 96.[36] Ali Mustafa Ya’qub, Kritik Hadis…, hlm. 17.[37] Ahmad Amin, Fajr al-Islam (Beirut: Dar al-Kitab al-Arabiy, 1969), hlm. 211.[38] Muslim bin Al-Hajaj Abu Husain al-Qusyairiy al-Naisaburi, Shahih Muslim bi Syarh al-Nawawi, Bab Taghlidz al-Kadzib ‘ala Rasulillah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam(Kairo: Al-Mishriyah, 1929), hlm. 67.[39] Ahmad Amin, Fajr al-Islam…,hlm. 211.[40] Muhammad Hamid an-Nashir, Modernisasi Islam: Menjawab Pemikiran Jamaluddin al-Afghani hingga Islam Liberal, terj. Abu Umar Basyir (Jakarta: Darul Haq, 2004), hlm. 138.[41] Muhammad Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Hadits(Beirut: Dar al-Syuruq, Tt), hlm. 26-27.[42] Muhammad Al-Ghazali, Al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahli al-Fiqh wa Ahli al-Hadits…, hlm. 27.