Blog

Bahasa Indonesia Dalam Laras Hukum

Selama bekerja di bidang bahasa, laras bahasa hukum adalah ranah yang menurut saya paling sulit. Bagaimana tidak? Ranah hukum memiliki gaya bahasa tersendiri dan terminologi yang terdengar asing. Bahkan, ketika sedang berhadapan dengan naskah-naskah hukum, saya perlu membaca berulang kali untuk mendapat pemahaman yang utuh.

Dalam Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik (2005), tertulis bahwa bahasa Indonesia memiliki lima ragam. Hukum merupakan bidang yang menerapkan ragam bahasa beku (frozen), yakni ragam bahasa yang memiliki ungkapan dan istilah tetap dan tidak memungkinkan adanya perubahan satu kata pun. Lebih dari itu, tekanan pelafalan dalam ragam beku pun tidak boleh berubah.

Barangkali, ragam beku inilah yang mengakibatkan naskah hukum sukar untuk dimengerti oleh orang awam. Untuk memahami naskah hukum, kita membutuhkan bantuan dari para ahli. Namun, sebetulnya, ragam bahasa beku ini bisa menghambat pemenuhan fungsi bahasa hukum.

Nasution dan Warjiyati (2001: 71) dalam Mawardi dan Sarah (2018) mengatakan ada tiga fungsi bahasa hukum, yakni fungsi simbolik, emotif, afektif. Sebagai fungsi simbolik, bahasa hukum bertujuan untuk mengomunikasikan pemikiran atau gagasan. Fungsi simbolik ini dapat kita temukan pada rambu lalu lintas yang berkaitan dengan bahasa hukum. Lalu, fungsi emotif bertujuan memaksa dengan menggunakan bahasa sebagai sarana komunikasi dan dilakukan secara rasional. Kemudian, fungsi afektif berkaitan dengan sikap yang bertujuan mengubah dan mengembangkan kepribadian masyarakat agar menaati dan meningkatkan kesadaran hukum. Tiga fungsi tersebut seharusnya dapat mencerminkan karakteristik bahasa hukum yang memiliki kejelasan makna, kepaduan pikiran, kelugasan, serta keresmian.

Tentu saja, kejelasan makna dan kelugasan jarang saya temukan dalam naskah hukum. Menurut Nasution dan Warjiyati pula, kekurangan bahasa hukum di Indonesia adalah penggunaan kalimat yang terlampau panjang dan ambigu. Shanty dalam “Analisis terhadap Fungsi Bahasa Indonesia Hukum dalam Mewujudkan Kepastian Hukum” (2016: 269) menuliskan bahwa hal ini tidak terlepas dari fakta sejarah. Hukum Indonesia berkiblat pada hukum Belanda. Dulu, para ahli hukum menerjemahkan naskah-naskah hukum berteks Belanda tanpa mengindahkan kaidah bahasa Indonesia. Bahkan hingga hari ini, laras bahasa hukum masih memiliki kesan berjarak dengan kaidah bahasa Indonesia.

Baik Nasution-Warjiyati maupun Shanty mengemukakan bahwa laras bahasa hukum seharusnya menggunakan bahasa yang bersifat ilmiah, yakni bahasa yang menekankan kelugasan, kesederhanaan, kepaduan pemikiran, dan tidak multitafsir. Bahasa Indonesia sudah mengalami pemutakhiran berkali-kali. Namun, belum ada upaya yang signifikan dalam penyesuaian laras bahasa hukum dengan kaidah-kaidah bahasa Indonesia. Padahal, semestinya, bahasa hukum mengikuti perkembangan bahasa Indonesia. Apakah hukum betul-betul bisa mengatur dan menjaga masyarakat serta menjadi instrumen penegak keadilan lewat bahasa yang sukar dipahami?

Rujukan:

* Kushartanti, Yuwono dan Lauder. (Ed). 2005. Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
* Mawardi dan Sarah. 2018. “Karakteristik Ragam Bahasa Hukum dalam Teks Qanun Aceh”. Dalam Jurnal Master Bahasa Vol. 6, No. 2 (hlm. 183–194).
* Shanty, Wika Yudha. 2016. “Analisis terhadap Fungsi Bahasa Indonesia Hukum dalam Mewujudkan Kepastian Hukum”. Dalam Jurnal Cakrawala Hukum, Vol. 7, No. 2 (hlm. 268–280).

Penulis: Yudhistira

Penyunting: Dessy Irawan